Pameran ini tumbuh perlahan, dari ajakan sederhana teman-teman UKM Fotografi G-PRET Universitas Muhammadiyah Gresik untuk melanjutkan tradisi pameran pasca diklat yang kini memasuki episode ketiganya setelah Sanubari (2023) dan Pulang (2024).
Sebanyak dua belas anggota baru—mahasiswa semester awal—mengawali proyek pameran ini dengan semangat menggebu,namun juga membawa ketidaktahuan yang jujur dan segar. Selama menyiapkan pameran, kami melalui proses ini bersama-sama, secara jujur, terbuka, dan konkret.
Kami menyepakati pendekatan photo story—bukan sekadar foto tunggal yang menangkap momen dramatis dalam sebuah decisive moment, tetapi narasi visual yang memiliki struktur: sebab, akibat, konteks, dan pergulatan. Format ini saya rasa tepat untuk para pameris muda yang tengah belajar menyimak dan mengabadikan dinamika Kota Gresik lewat kamera. Mereka menempatkan diri sebagai outsider sekaligus insider—para pendatang dari berbagai daerah yang kini tinggal dan hidup di Kota Gresik. Mereka memiliki jarak pandang yang cukup kritis, sekaligus juga cukup intim.
Melalui berbagai diskusi, muncul satu frasa yang kuat dan segera kami sepakati bersama sebagai tajuk pameran, yaitu Gresik Sumpek.
“Sumpek”—dalam Bahasa Jawa berarti sesak, semrawut, padat, menyesakkan—adalah kata yang kerap diucapkan warga Gresik dalam nada sambat, satire, atau lelucon pahit. Kata ini bukan hanya mencerminkan kondisi fisik kota yang macet, polusi, padat industri, minim ruang publik sekaligus juga kondisi batin warganya yang merasa terhimpit dan kehilangan ruang bernapas. Dalam pameran ini, kami tidak menjadikan “sumpek” sebagai bahan olok-olok, tapi sebagai pintu masuk: untuk memulai percakapan yang lebih jujur, relevan, dan reflektif tentang Gresik hari ini.
Maka proses kuratorial dimulai dari menyimak kota ini bukan sebagai latar, tapi sebagai subjek utama. Saya bertanya pada para pameris: “Apa yang kalian lihat dari Gresik?” “Apa yang kalian rasakan selama tinggal di sini?” “Apakah kalian merasa nyaman, terganggu, bingung, atau justru tidak peduli?” Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pemantik untuk memotret dengan empati dan kehadiran penuh, bukan sekadar membidik dari kejauhan.
Tentu prosesnya tidak mudah. Kami menghadapi banyak kendala di lapangan, sehingga menyisakan hanya enam orang yang bertahan. Tapi justru dari keterbatasan itulah tumbuh kejelasan: yang bertahan adalah mereka yang sungguh-sungguh ingin belajar, bukan karena kewajiban, tapi karena panggilan. Bersama dengan panitia yang sabar membersamai proses ini—yang notabene adalah kakak tingkat mereka sendiri—enam pameris ini menghadirkan “Gresik Sumpek” dari sudut pandang yang beragam, jujur, dan personal.
Hafiz memotret tukang sapu jalanan yang tetap tersenyum meskipun hidup dalam keterbatasan. Ia menyambi jualan pentol demi mencukupi hidup—sebuah potret tentang ketabahan yang menenangkan. Sementara itu, Yasmin merekam ritme keseharian kota: iring iringan kendaraan penjemput buruh, pedagang musiman, hingga penghuni kos. Sebuah siklus berulang yang tampak tak pernah selesai. Zaki mempertanyakan: “Apakah sumpeknya jalan itu karena kendaraan, atau karena kota ini tak pernah memberi jeda?” Sebuah refleksi kritis tentang ruang yang tak ramah.
Fahmi menyusuri jejak masa lalu: dari permainan anak-anak hingga “permainan” orang dewasa, mengaitkan perubahan hari ini dengan bayangan masa depan. Robbi menyorot kehidupan pinggiran, mereka yang hidup dengan upah seadanya, namun tetap bertahan menjalani hari demi hari. Sementara itu, Rohman merekam kisah pribadinya—tentang waktu yang tergerus oleh pekerjaan, tentang hidup yang dipadatkan oleh sistem dan tuntutan.
Karya-karya ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari pertemuan antara pengamatan dan pengalaman, antara rasa ingin tahu dan keinginan untuk menyuarakan sesuatu. Para pameris bukan fotografer profesional, tapi justru karena itu karya mereka terasa mentah, jujur, dan otentik. Mereka tidak sedang membuat propaganda, apalagi menyusun tuntutan politik. Mereka hanya ingin berbagi cerita tentang kota yang mereka tinggali—sebagai anak muda, sebagai pendatang, sebagai manusia biasa.
Dalam konteks ini, saya melihat para pameris bukan hanya sebagai fotografer, tapi sebagai penyimak kota. Mereka merekam bukan dengan lensa besar, melainkan dengan empati.
Kami berharap pameran “Gresik Sumpek” dapat menjadi pintu menuju percakapan yang lebih luas tentang ruang hidup, tentang hak atas kota, tentang bagaimana kita merasa (atau tidak merasa) sebagai bagian dari tempat ini. Pameran ini tidak menawarkan solusi. Ia mengajak kita berhenti sejenak, bertanya, mendengarkan, dan mungkin, mulai merawat kepekaan.
Gresik bukan hanya pabrik. Bukan hanya macet. Bukan hanya barisan dump truck. Ia juga cerita-cerita kecil dari orang-orang yang mencoba memahami dan menjalani hidup di dalamnya. Cerita yang barangkali sudah terlalu lama kita abaikan.
Pameran “Gresik Sumpek” berlangsung pada 19–25 April 2025 di Galeri Loteng Kemasan, Jl. Nyai Ageng Arem-Arem Gg. III No. 20, lantai dua Cafe Sualoka, Gresik.
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.