“Ganyang Cina …”
“Cina komunis!”
“Cina PKI!
“Enyahkan Cina!”
Aku tercekat, lagi-lagi teriakan itu berkelebat dan membuyarkan lamunanku. Menyeretku dalam ingatan masa kecil yang ingin kukubur dalam-dalam. Aku yakin memori itu muncul karena undangan pentas budaya Indonesia yang beberapa waktu lalu aku terima.
Kembali ke Indonesia setelah seperempat abad meninggalkannya. Apalagi menginjakkan kaki di kota kelahiranku adalah hal yang tak pernah terfikirkan. Tak ada alasan untuk kembali ke sana sebab yang tersisa hanyalah kekecewaan dan tak lebih dari sepenggal kisah masa lalu yang pilu.
“Mei, cepat makan opornya selagi hangat!” Mama setengah berteriak begitu melihatku masih termangu di depan sepiring hidangan imlek.
“Bukan opor, Ma. Ini lontong Cap Go Meh,” sergahku sambil menyuap dan memandangi piring berisi irisan lontong yang dipadukan dengan kuah lodeh, mie goreng, sambal goreng tahu, hati, dan rebung. Ada rasa abon sapi dan sedikit kari melengkapi cita rasanya.
“Setelah makan, jangan lupa antarkan wedang ronde ke ruang kerja Papa.”
“Oh, No! Wedang ronde pun tetap merajai bahkan di saat imlek.” Sungutku.
Detik selanjutnya, aku sudah mengobrol santai bersama Papa. Mendengarkannya bercerita tentang banyak hal. Tentang leluhurnya, masa kecilnya dan rumah yang tak jauh dari pesisir pantai tempat kami sempat tinggal, juga tentang keinginannya untuk pulang ke Gresik. Sebuah kota di Jawa Timur yang dulu terkenal sebagai kota pelabuhan.
“Menjelang Imlek, biasanya di Indonesia hujan angin. Semua orang takut bila masuk bulan Februari menyambut Imlek dengan hujan badai kencang. Meski begitu, kita orang Cina menyambutnya dengan suka cita pertanda keberuntungan untuk kita semua di tahun mendatang,” ucap papa disusul menyeruput kuah hangat wedang ronde.
“Papa, please. Kita sudah dua puluh lima tahun meninggalkan Indonesia dan Papa masih saja membicarakannya,” lirihku dengan suara parau.
“Kamu yakin sudah selama itu kita di sini? Sepertinya baru kemarin kita pindah,” balas Papa.
“Betul, Pa. Jarak kita bahkan ribuan mil dari Indonesia tetapi Papa seolah masih berada di sana. Indonesia tidak bisa memberikan kita rasa aman Pa. Sebaiknya kita melupakannya saja untuk selamanya.”
“Hush! Jangan pernah berkata seperti itu. Omamu lahir dan tutup usia di Indonesia, Papa pun lahir serta tumbuh dewasa di sana, bahkan Papa dan Mamamu menikah serta melahirkan anak-anak di Indonesia. Jadi jiwa kita semua Indonesia.”
“Tapi Pa …”
“Bagaimanapun jiwa kita Indonesia. Suatu saat nanti kita harus kembali ke Indonesia, karena di sanalah tempat kita,” ujar Papa pelan dan bergetar.
Ah, Indonesia. Mengingatmu membuat hati ini bagai dihujam belati hingga berdarah-darah. Aku tak mau kembali padamu karena kutahu kami semua tak diinginkan untuk mencecap segala pesonamu. Meski kerap terbayang kaki telanjang yang geli digelitik butir pasir, merasakan sinar mentari membakar garang kulit hingga menjadikannya serupa tembaga walau sesat, juga menikmati rempah yang membuat lidah merasakan kenikmatan surga. Puluhan tahun kuputuskan angkuh menepis pesonamu, berpayah agar berhasil membunuh rindu.
***
Bandar Grisse 2023.
Rupanya kawasan tempatku lahir kini telah menjadi kawasan kota tua. Kulihat bangunan-bangunan tua masih berdiri kokoh di sana meski tak terhitung yang tersia atau mengelupas catnya namun bentuknya masih sama. Bandar Grissee menjadi titik pusat yang menggambarkan pusparagam budaya. Kawasannya diapit empat kebudayaan berbeda yang dikenal dengan sebutan kampung arab, kampung pecinan, kampung kolonial dan kampung pribumi.
Saat memutuskan untuk menghadiri pentas budaya, aku bertekad tak akan menginjakkan kaki di kota pudak ini. Cukuplah aku berdiam di kota tempat acara berlangsung lalu saat acaranya selesai, aku segera kembali ke Berlin. Namun rupanya, aura Gresik begitu kuat memanggilku untuk ambruk dalam dekapnya.
Jadilah di hari yang masih terlalu pagi ini, kakiku sudah melangkah menyusuri jengkal demi jengkal kenangan masa kecil. Jenuh memandang langit-langit hotel ditambah mata yang sulit terpejam. Barangkali aku terlalu gugup dengan keputusan gila ini. Apalagi papa berpesan untuk menyempatkan diri menemui kawan lamanya bernama Haji Abdul Karim.
Ah, mengeja nama itu membuatku teringat aroma oud. Beliau memiliki putera yang seusia denganku, teman masa kecil yang setiap dia mendekat selalu tercium aroma oud yang khas. Hidung bangirnya tentu berbeda jauh dengan hidungku yang minimalis dan alisnya yang tebal sangat kontras dengan alisku yang seperti bulan sabit. Tiba-tiba aku malu teringat keusilanku yang suka menggodanya dengan mengambil diam-diam peci putihnya untuk kulipat menjadi kecil lalu kusembunyikan di kantung rokku. Aku begitu girang melihatnya kebingungan mencari pecinya jika hendak pulang selepas bermain.
Bernostalgia sembari berjalan membuatku tak sengaja berhenti di sebuah gang, di sepanjang jalannya terdapat barisan lampu yang tiangnya berhiaskan aksara cina ditambah dengan ornamen lampion dan naga. Tak butuh waktu lama, aku telah tiba di sebuah bangunan dengan nuansa merah dan kuning. Kulihat beberapa ekor burung dara seolah menyambut kedatanganku dan bertengger di atas atap klenteng seolah berpose dengan ornamen dua ular naga yang berebut mustika matahari. “Tempat Ibadat Tri Dharma Gresik Kim Hin Kiong” begitu tertulis di pintu gerbang bangunan utama. Sayangnya pintu itu masih tertutup.
Beruntung pintu di sebelah kiri sedikit terbuka dan ketika kulongokkan kepala, buru-buru seorang bapak tua membukanya lebih lebar agar aku bisa masuk.
“Selamat pagi, silakan … silakan masuk.” Sapanya.
“Selamat pagi, Pak.” Aku balas menyapa sambil sedikit membungkukkan badan. Hanya sedikit ingatanku tentang klenteng ini.
Setelah saling berkenalan, Pak Cien mengajakku berbincang di sebuah bangku yang terbuat dari kayu jati utuh. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling bangunan. Rupanya kami berada di sisi kiri klenteng. Mataku menangkap panggung wayang potehi, beberapa peralatan sembahyang, etalase berisi dokumen-dokumen, atap yang penuh dengan lampion serta ruang yang cukup luas.
“Silakan nikmati tehnya,” Pak Cien mengangsurkan cangkir yang menguarkan rempah, melati dan teh secara berkelindan. Kami berbincang cukup lama hingga aku tersadar jika mentari mulai meninggi.
Kembali kususuri jalan dan bertemu gang-gang dengan deretan rumah berarsitektur kuno hingga kolonial yang terlihat sangat unik. Kubaca papan penunjuk jalan, kampung itu bernama Pulopancikan. Ah nama kampung ini rasanya tidak asing. Kuputuskan untuk segera bertanya alamat Haji Abdul Karim pada orang-orang yang kutemui. Mereka mengarahkanku pada sebuah rumah kuno tak jauh dari makam Maulana Malik Ibrahim.
Rumah itu adalah tempat kami berlindung ketika kerusuhan terjadi.
“Ganyang Cina …”
“Cina komunis!”
“Cina PKI!
“Enyahkan Cina!”
Hanya dengan memegang pintu gerbangnya, teriakan-teriakan itu mendadak berdengung lagi di telingaku. Teringat malam terakhirku berada di bumi Indonesia karena esok dini hari Pak Haji akan membawa kami ke bandara. Selanjutnya kami akan terbang ke Berlin untuk mengungsi. Seorang sahabat Papa bersedia membelikan tiket sekaligus menampung kami di sana.
Malam itu aku yang berusia sepuluh tahun menangis meraung-raung agar diijinkan untuk sejenak kembali ke rumah mengambil beberapa barang yang kumiliki untuk kubawa serta. Sementara papa bersikukuh tak mengizinkan karena terlalu berbahaya. Beruntung putra Pak Haji membantu menyakinkan papa bahwa dia tau jalan rahasia untuk mencapai rumah. Tak pernah terlupakan bagaimana aku harus dipakaikan baju kurung dan kerudung oleh Bu Haji untuk mengelabui siapapun yang melihat agar disangka pribumi muslim.
Demi barang pribadi yang berharga itu, aku mau saja didandani apapun. Berjalan di kegelapan malam bersama teman masa kecilku dan beberapa warga kompleks untuk menjaga keamanan kami. Tanganku terasa sangat dingin saat menggandeng tangan mungilnya, dengan senter kecil kami masuk ke ruang tamu yang sudah porak poranda. Aku seperti melangkahkan kaki di rumah asing yang sudah tidak bisa dikenali lagi bentuknya. Ruang tamu yang ditata Mama dengan cinta, meja kursi yang berbaris rapi sudah tak berbentuk, pajangan foto di dinding tergeletak di lantai, bingkainya patah tak beraturan dan kacanya pecah bertebaran, terinjak seperti barang tak berharga. Dengan menangis kuambil foto yang berserakan, kamera yang ada di lemari, dan beberapa barang berhargaku. Aku ingin membawanya agar kenangan itu ikut bersamaku pergi jauh. Mengingat momen itu membuat lukaku kembali menganga. Rupanya aku belum siap untuk mengingat lebih dalam lagi. Kurasa kakiku hampir berlari ketika kudengar suara lembut yang tak asing terdengar telingaku.
“Kenapa menangis, Nak?” tanyanya.
“Ibu Haji,” lirihku terduduk menahan sesak yang menyeruak.
Beliau pun membimbingku ke dalam rumah setelah kusampaikan salam dari papa.
Aku duduk bersimpuh di ruang tamu. Kuambil album foto yang disodorkan bu haji. Perlahan kubuka setiap lembarnya. Kupandangi lembar demi lembar sembari mencoba mengingat setiap momen di dalamnya. Ada fotoku yang tersenyum lebar dengan mata yang nyaris seperti garis tengah memakai pakaian adat jawa dengan tangan memegang bendera merah putih kecil pada perayaan hari sumpah pemuda. Warna kebaya yang gelap begitu kontras dengan kulitku yang seputih susu. Ada juga foto berpakaian serba putih. Ingatanku samar antara lomba baris-berbaris antar sekolah atau ketika dimandat sebagai petugas pembaca Undang-Undang Dasar 1945 dalam sebuah upacara.
Kuamati kopyah hitam yang bertengger menutupi sebagian rambut panjang nan lurus, tersemat lambang garuda kecil di ujungnya. Perlahan kuusap foto itu, ada getaran yang berusaha kuraih kembali, rasa yang mati-matian berusaha kubuang karena terlalu berat untuk kunikmati. Tanganku bergetar mengusap lambang garuda itu, hingga air mata menetes terjatuh tanpa terasa.
Tangisku pecah, entah karena apa. Berusaha berdamai dengan amarah yang lama terpendam. Semua bayangan masa lalu muncul bergantian bagai slide film yang tayang secara acak antara bahagia, sedih, hingga pilu muncul menguasai otak dan jiwaku. Kali ini aku mencoba untuk tak lagi lari, tak menghindar maupun melawannya dan bertekad untuk menghadapi apapun itu. Maka terus saja aku kuatkan hati untuk menyaksikan kembali semua bayangan yang muncul di memori otakku. Akan kupintal semua potongan kehidupan yang sudah lama tercecer, hingga akan menjadi puzzle utuh yang akan kunikmati kapanpun tanpa beban.
Masih sekitar tiga jam sebelum aku harus segera meninggalkan Gresik.
“Baiklah, masih cukup untuk mencecap kopi,” batinku sambil melangkah ke kafe unik di sekitar jalan Nyai Ageng Arem-Arem. Sebuah rumah kolonial yang dialih fungsikan sebagai kafe dengan deretan rak buku yang menggiurkan untuk diselami isinya.
Belum juga kutuntaskan sebuah cerpen dalam buku Sentimentalisme Calon Mayat Sony Karsono, seseorang menghampiri menaruh secangkir kopi dari arah samping. Seketika waktu berhenti. Bahkan aku belum sepenuhnya menoleh untuk menatap pemilik wangi itu. Aroma oud yang kukenal tanpa sopan menyeruak di antara asap kopi yang mengepul. Membawa otakku terpental pada sepotong ingatan puluhan tahun lalu.
“Hm, wangi Afnan.” Lirihku pelan sekali hingga aku yakin hanya telingaku yang bisa mendengarnya.
“Iya. Saya Afnan.” Jawab pelayan yang rupanya masih berdiri di sampingku.
Sontak aku menoleh ke sumber suara. Kutemukan mata itu, mata yang sangat berbeda dengan mata sipitku, Hidung bangirnya yang tentu berbeda jauh dengan hidung minimalisku dan alis tebalnya sangat kontras dengan alisku yang seperti bulan sabit. Tiba-tiba aku malu teringat keusilanku yang suka menggodanya dengan mengambil diam-diam peci putihnya untuk kulipat menjadi kecil lalu kusembunyikan dalam kantong rokku.
“Lama sekali kamu kembali.” Dia tersenyum.
“Kamu masih di sini,” Setengah bertanya dan setengah buru-buru kubalas senyumnya.
“Tentu saja, memang di mana lagi tempat terbaik untuk menunggumu?”
Grissee, sepertinya kini aku punya alasan untuk jatuh dalam dekapmu lagi.
Agustina Kumala, Lahir di Lamongan 18 Agustus 1989. Saat ini mengabdi sebagai dosen di Universitas Trunojoyo Madura. Membaca baginya adalah “me time” terbaik dan Menulis adalah sarana untuk mewujudkan wejangan bijak “ojo mati tanpo aran”.
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.