
Sejak mendengarkan orasi kebudayaan Martin Suryajaya pada Biennale Jatim di Gresik beberapa waktu lalu, aku tersadar bahwa keputusan manusia, sekecil apa pun, sering kali tidak benar-benar memperhatikan lingkungan dan segala sesuatu yang berselimut dalam kehidupan di luar dirinya.
Martin mengingatkan bahwa manusia bukan pusat semesta, melainkan bagian kecil dari jejaring kehidupan yang saling terhubung. Alam tidak sekadar latar, tetapi aktor yang menentukan arah hidup manusia. Setiap perubahan, bahkan sekuel terkecil dari rantai ekosistem, memiliki peran dalam menjaga keseimbangan.
Kesadaran itu semakin mengendap ketika aku menyaksikan pameran rupa dari Uzzaer Ruwaidah. Bagaimana ia menenun benang menjadi kain, menjadikannya media untuk bersahabat dengan kreativitas, dan memberi perhatian pada akar pohon beringin. Dari sana aku melihat: akar bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga representasi dari kehidupan yang tertanam, menyerap, dan menopang.
Uzzaer juga merawat dua puluh lima kucing jalanan, meski mendapat protes dari warga. Air matanya yang jatuh ketika melihat makhluk-makhluk itu tak terurus seolah menjadi kesaksian bahwa kasih terhadap alam dan makhluk selain manusia bukanlah romantisme, melainkan bentuk paling purba dari kemanusiaan.
Mungkin yang membuat manusia jauh dari Tuhan adalah karena yang diperhatikan dan dimasukkan ke dalam memori hanya produk manusia. Sibuk dengan gawai, industri, dan pesona hasil ciptaannya sendiri. Jarang melihat langit berangsur menjadi jingga, atau mendengar cerewetnya burung memberi makan anaknya.
Bahkan lupa bertanya: ke mana kupu-kupu yang dulu beterbangan di musim bunga? Adakah bunga yang masih tumbuh di halaman rumah? Maka, wajar bila konsep keindahan semakin kabur karena tak lagi menyaksikan warna mawar yang mekar alami di bawah cahaya pagi.
Ilmu pengetahuan kini semakin menegaskan bahwa hubungan manusia dengan alam jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan.
Sebuah penelitian dari Yale School of the Environment (2024) menemukan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan keanekaragaman hayati—misalnya dengan melihat variasi warna bunga atau mendengar kicau burung liar—otak mengalami peningkatan aktivitas pada area yang mengatur empati.
Fenomena ini dikenal sebagai biophilia effect—dorongan biologis manusia untuk terhubung dengan kehidupan lain.
Studi dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology (2023) menunjukkan bahwa mikroorganisme di udara pedesaan dapat memengaruhi kestabilan emosi manusia. Spora dan senyawa kimia alami dari tanah ternyata mampu menstimulasi serotonin, zat kimia yang memengaruhi rasa bahagia. Artinya, hubungan ekologis tidak hanya bersifat simbolik atau moral, tetapi juga biologis dan fisiologis: tubuh manusia memang diciptakan untuk berinteraksi dengan alam.
Dari orasi Martin tentang “hantu laut” yang menyinggung bagaimana kehidupan nelayan hanya didefinisikan dengan angka dan catatan dalam program Excel tanpa mempertimbangkan pengaruh cuaca, plankton, atau reklamasi, aku memahami bahwa apa yang tampak gaib sering kali adalah akibat dari ketidaktahuan manusia terhadap dinamika ekologis. Alam berbicara dalam bahasa yang rumit, dan kita sering menafsirkannya secara mistis karena lupa membaca logika biologis di baliknya.
Maka, mungkin inilah waktunya manusia berhenti memandang alam sebagai sumber daya dan mulai menganggapnya sebagai sesama makhluk hidup yang berbagi ruang eksistensi. Sebab, jika akar kehidupan adalah alam, maka menjauhi alam sama saja dengan mencabut akar diri sendiri.
Oleh Dewi Musdalifah
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.
