
Seusai Kumpul Rebo Edisi 1 awal bulan kemarin, muncul beberapa hal yang layak menjadi sorotan. Satu di antaranya adalah banyaknya keterlibatan anak muda, tepatnya Gen Z daripada Milenial dan Gen X yang ikut dalam kumpul-kumpul tersebut. Generasi Z yang lahir di tahun 1997-2012 ini, rata-rata “speak up” tentang keresahan yang dialaminya saat ini. Dengan ciri khasnya yang ceplas-ceplos, tentu saja.
Mulai dari kurangnya tempat healing kekinian di Gresik daratan, ketidakjelasan akses informasi digital terkait kegiatan seni budaya maupun hal rekreatif, hingga kebingungan bagaimana cara “mempromosikan Gresik” yang tepat guna (soal branding kota). Namun, dari sekian hal yang diceritakan, terselip semacam curhatan yang tersirat. Yakni, anggapan bahwa beberapa dari mereka (Gen Z) dirasa “kurang, aneh, dan menjurus selalu salah” ketika menceritakan kehidupannya di Gresik dalam berbagai aspek.
Saat diurai, sebagian karena memiliki interpretasi maupun sudut pandang yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Entah di tongkrongan, ruang diskusi, hingga lingkungan pekerjaan. Mungkin, untuk memahami sedikit curhatan yang tersirat itu, mari kita simak cerita dari seorang Gen Z asal Gresik berikut ini.
Semacam Venting Biar Nggak Overthinking
Di setiap tongkrongan, ruang diskusi, bahkan lingkungan kerja, semakin sering terdengar satu kalimat menyakitkan tapi terasa biasa di telinga: “Ya, namanya juga Gen Z.” Kalimat ini sepertinya bukan pujian. Kalimat ini sering muncul saat kami, generasi yang lahir di tahun 1997-2012 membuat kesalahan atau mengambil keputusan yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Lalu, diberi label; manja, tidak tahan banting, terlalu idealis, malas, hingga sok tahu. Seolah-olah, apa pun yang dilakukan, Gen Z pasti salah. Sebagai seseorang yang lahir di tahun 2002, saya bertanya-tanya: Apakah ini hanya prasangka, atau memang ada kesenjangan yang lebih dalam antara generasi?
Gen Z tumbuh dan besar dalam dunia digital. Kami tidak mengenal hidup tanpa internet, media sosial, dan akses informasi cepat. Di satu sisi, ini memberi kami keunggulan dalam kecepatan belajar, beradaptasi, dan berpikir kritis. Tapi di sisi lain, kedekatan kami dengan teknologi sering dianggap sebagai bentuk ketergantungan atau bahkan kemalasan. Padahal, ini hanyalah bentuk adaptasi pada zaman.
Kami dituntut untuk cepat lulus, cepat kerja, dan cepat mapan. Namun, juga dituduh tergesa-gesa ketika kami mengambil keputusan cepat. Kami dianggap tidak sabar karena tidak mau “meniti karier dari bawah”. Padahal, banyak dari kami memilih jalur berbeda yang mungkin belum dipahami sepenuhnya oleh generasi sebelumnya.
Salah satu titik gesekan paling nyata adalah di dunia kerja. Gen Z dianggap bukan generasi pekerja keras dan malah terlalu “banyak maunya”, seperti; ingin kerja yang fleksibel, gaji yang layak, lingkungan kerja yang sehat, serta keseimbangan hidup yang baik. Sementara generasi sebelumnya menganggap kerja keras sebagai bentuk loyalitas, Gen Z menilai batasan diri sebagai bentuk kewarasan. Maka ketika kami berbicara soal burnout atau kesehatan mental, respons yang kami terima sering kali: “Dulu juga kami capek, tapi tetap kerja.”
Label negatif terhadap Gen Z seolah menutup mata dari banyak hal positif yang kami bawa; keterbukaan terhadap isu sosial, keberanian bersuara, semangat kewirausahaan sejak muda, dan kreativitas dalam berkarya di ruang digital. Sayangnya, hal yang lebih sering disorot adalah sisi yang belum matang. Bukan potensi yang sedang tumbuh.
Tentu saja, sebagian dari kami mungkin ada yang memang terlihat terlalu santai, terlalu emosional, atau belum cukup dewasa menghadapi tekanan. Tapi apakah itu alasan untuk menghakimi seluruh generasi? Apakah satu dua contoh cukup untuk mewakili jutaan orang yang lahir dalam rentang waktu yang sama?
Tidak semua Gen Z manja. Banyak dari kami yang bekerja keras, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga. Tidak semua Gen Z mudah menyerah. Banyak dari kami yang diam-diam menanggung tekanan besar sambil tetap tersenyum. Tidak semua Gen Z hanya peduli soal “fleksibilitas” dan “healing.” Banyak dari kami yang justru memperjuangkan nilai-nilai baru; keberagaman, keadilan, kesetaraan, dan transparansi—hal-hal yang selama ini sering diabaikan.
Mungkin, di situlah letak perbedaan utamanya: Cara–cara Gen Z dalam memaknai hidup. Generasi kami lahir dan tumbuh di tengah perubahan yang sangat cepat; krisis iklim, pandemi global, ketidakstabilan ekonomi, dan perkembangan teknologi yang nyaris tidak memberi ruang jeda. Kami menyaksikan betapa dunia bisa berubah dalam hitungan yang sangat cepat dan kami dipaksa untuk cepat beradaptasi. Dalam banyak hal, kami tidak punya pilihan selain bertahan dengan cara kami sendiri.
Barangkali, mungkin yang dibutuhkan bukan penghakiman, tapi pendampingan. Bukan sindiran, tapi dialog. Kami butuh jembatan antargenerasi, bukan tembok yang semakin tinggi. Kami tidak ingin jadi musuh bagi generasi sebelumnya.
Kami hanya ingin dipercaya, diberi ruang, dan diterima apa adanya dengan segala kekurangan dan potensi kami. Karena pada akhirnya, tidak ada generasi yang sempurna. Setiap generasi punya tantangan dan cara sendiri untuk menghadapinya. Generasi sebelumnya pernah muda, pernah salah, dan pernah merasa tidak dimengerti. Sama seperti Gen Z hari ini.
* Pengantar Kumpul Rebo Edisi 2 Oleh Qoonita Rizka Syafana
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.