Hari masih subuh dan kawasan kota tua Bandar Grissee baru mulai berdenyut. Toko kelontong di Jalan HOS Cokroaminoto baru dibuka pintu kayunya yang berkeriut. Tukang becak baru mulai mengayun lutut, melintasi Jalan Basuki Rahmat, Malioboro-nya Gresik. Semenjak direnovasi akhir tahun lalu, begitulah jalan ini orang-orang sebut. Di emperan toko Jalan Raden Santri, oleh pedagang sayur yang baru menggelar lapak, bapak-bapak dan ibu-ibu disambut. Para pembeli ini masih bersarung dan bermukena. Mereka berbelanja sepulang salat subuh dengan wajah masih berhias cahaya doa qunut.
Berbeda dari orang-orang itu, wajah Nadhif Munawar tak bercahaya. Justru muram dan kusut. Pikirannya acakadut. Padahal dia juga baru saja mengaminkan doa qunut yang sama dari imam yang sama di masjid. Dia pun masih bersarung. Sarung BHS pula. Meski memakai sarung tenun kebanggaan Gresik, tak sedikit pun kebanggaan tersisa di hati Nadhif atas dirinya sendiri. Dia putus asa lantaran nyaris bangkrut.
Kenapa nyaris? Karena sampai subuh ini masih ada sepasang tamu yang menginap di Hotel Cemerlang, hotel warisan keluarga yang kini dikelola Nadhif sebagai generasi ketiga. Namun, hampir bisa dipastikan sepasang tamu asal Semarang itu akan segera hengkang dan tidak bakal kembali. Mereka berdua tamu pertama dalam dua pekan belakangan dan mungkin akan jadi tamu terakhir untuk selamanya.
Sekira dua jam sebelum subuh tadi, suara teriakan menyeruak dari kamar nomor 3, dekat lobi hotel. Lengkingan penuh ketakutan itu seketika membangunkan Nadhif dan istrinya, Putri Marlina, yang tidur di kamar ujung belakang. Yusman dan Yasmin, anak kembar Nadhif yang beda jenis kelamin, juga kompak terhenyak. Mereka pun berlarian, bergegas menghampiri sumber suara.
“Ada apa, Mbak?!” tanya Putri dengan napas tersengal.
Shinta, orang yang ditanyai, tidak lekas menjawab. Dia masih meringkuk dalam dekapan Dirman, suaminya, di atas ranjang besi kuno dan kasur kapuk yang agak keras. Pasangan suami-istri asal Semarang yang mengaku sebagai pelancong peminat sejarah ini sudah menginap dua malam.
Setelah beberapa detik penuh keheningan dan kecanggungan, Dirman buka suara, “Istri saya ketakutan. Katanya waktu salat tahajud tadi lihat sesuatu di kolong ranjang.”
Yusman melongok ke bawah kasur. Dia tidak mendapati apa-apa selain kantong keresek berwarna hitam.
“Maaf … Mungkin saya masih mengantuk. Tadi saya … seperti lihat ada kepala menggelinding,” ucap Shinta, lirih dan terbata.
Mendengar itu, Putri melirik Nadhif. Raut muka Nadhif seperti sedang menahan kesal dan gusar.
“Asu! Pasti perempuan ini juga sudah termakan cerita aneh-aneh,” batin Nadhif.
***
Nadhif merutuk. Dia mengutuk perempuan yang 15 tahun lalu menghabisi diri dengan menenggak racun di hotel miliknya. Nadhif berjanji, di akhirat nanti dia akan menagih tanggung jawab dari perempuan itu. Bagaimana tidak? Peristiwa bunuh diri itu menjadikan Hotel Cemerlang berangsur sepi. Karena sepi, tidak ada biaya perawatan cukup. Suasana hotel ini jadi berkebalikan dari namanya: gelap, muram, tak terawat.
Sebetulnya Nadhif ingin menyangkal setiap kali ada pertanyaan dan kasak-kusuk tentang peristiwa kelam belasan tahun lalu itu. Tapi dia tak melakukannya karena tahu penyangkalannya akan segera teridentifikasi sebagai kebohongan begitu orang mengetikkan di mesin pencari internet: “bunuh diri di Hotel Cemerlang Gresik”.
Begitu orang mengetikkan kata kunci itu di Google, laman-laman berita siber akan bermunculan di halaman pertama dengan judul dan narasi serupa: “Gagal Lolos Ujian PNS, Perempuan Muda 24 Tahun Bunuh Diri Minum Racun di Hotel Cemerlang Gresik”.
Karena itulah, Nadhif memilih pasrah dan tak membantah. Dia hanya berharap masih ada orang-orang lugu, orang-orang cuek tak takut hantu, atau malah pemburu hantu sekalian, bersedia menginap di hotel berarsitektur peninggalan kolonial Belanda ini.
Bangunan tua ini dibeli mendiang kakek Nadhif, Haji Ali Munawar, dan langsung dioperasikan sebagai hotel pada awal 1950-an. Nadhif sendiri baru memegang kepemilikan hotel setelah mewarisinya dari sang ayah, Haji Yusuf Munawar, 20 tahun lalu. Saat itu usia Nadhif 25 tahun dan baru menikahi Putri.
Tampaknya kesialan sengaja memilih Nadhif. Sebab tak lama berselang, atau malah bersamaan dengan peralihan kepemilikan hotel dari generasi kedua ke generasi ketiga, petaka demi petaka tiba dan lambat laun merusak perekonomian keluarga.
Sejak dibeli oleh kakek Nadhif, bangunan tua ini sudah jadi sumber utama pemasukan keluarga secara turun-temurun. Bukan hanya dari uang sewa hotel, pemasukan juga datang dari panen sarang burung walet. Sebagaimana bangunan tua lain di kawasan kota tua Gresik, hotel ini juga punya ruangan khusus di loteng yang dimanfaatkan untuk budidaya sarang walet.
Selama dua generasi, uang sewa hotel dan penjualan liur burung walet memberikan kemakmuran pada keluarga. Namun tampaknya riwayat keberuntungan itu akan purna pada generasi ketiga.
Sudah bertahun-tahun produksi sarang walet berangsur turun. Nadhif menduga, populasi walet anjlok seiring industrialisasi di Gresik yang mulai merebak pada 1990-an sampai awal 2000-an. Industrialisasi mengakibatkan polusi. Polusi merusak ekosistem dan habitat hewan-hewan. Itu logika sederhana yang menurut Nadhif bisa dipahami anak SD sekalipun.
Sempat jadi pemasukan utama keluarga, sarang walet kini sekadar penghasilan sampingan. Nadhif ingat, pada tahun-tahun pertama mengambilalih usaha keluarga, tiga bulan sekali dia bisa dapat uang 20 juta rupiah dari menjual hasil panen sarang walet. Bayangkan! Itu 20 tahun lalu, saat harga emas masih sepuluh kali lebih murah dibanding sekarang. Setelah populasi walet turun, dia hanya bisa dapat beberapa ratus ribu rupiah dalam sekali panen.
Praktis, bisnis hotel kemudian jadi pemasukan utama. Itu pun sebelum petaka-petaka lain tiba. Saat terjadi peristiwa bunuh diri, orang-orang mulai takut datang menginap. Begitu pandemi Covid-19 datang mengobrak-abrik tatanan kehidupan pada 2020-2021, hotel benar-benar sekarat.
Tamu seperti Shinta dan Dirman adalah hal yang langka. Belum tentu sebulan sekali ada. Benar saja, mereka tamu pertama dalam dua pekan belakangan. Entah takdir macam apa yang membuat mereka memilih sendiri kamar nomor tiga. Nadhif pun enggan menginterupsi. Salah omong, mereka bisa batal menginap.
Namun nyatanya, teriakan dini hari itu terjadi juga. Teriakan Shinta itu seolah jadi gong penanda akhir dunia.
“Sudah tidak ada lagi yang bisa aku lakukan,” batin Nadhif sepulang dari masjid, ketika melayani Shinta dan Dirman yang hendak check-out.
***
“Orang dari Jakarta tadi menelepon lagi. Mereka menaikkan tawaran. Bagian kita jadi 20 persen,” ungkap Putri nyaris berbisik sewaktu makan malam. Dia berbicara selembut yang dia bisa, mencoba mencegah Nadhif murka.
Mendengar itu, lidah Nadhif mendadak kebas dan mati rasa. Hidangan bandeng keropok yang selama ini jadi makanan favorit terasa hambar belaka. Pandangan pun jadi kabur. Bumbu sambal petis hitam yang melumuri ikan bandeng terlihat tak ubahnya lumpur selokan.
Putri langsung menunduk. Dia memasang sikap siap diomeli.
Benar saja, Nadhif berteriak, “Sudah berkali-kali aku bilang, kalau sampai kujual hotel ini, aku akan jadi anak sekaligus cucu durhaka! Mana punya muka aku untuk berjumpa ayah dan kakek di alam barzah!”
Kemarahan Nadhif memuncak. Orang-orang dari jejaring hotel besar asal Jakarta itu benar-benar bebal. Terus saja membujuk. Mereka hendak membeli hotel ini. Katanya bakal direnovasi dan dikembangkan. Orang-orang juga bakal dimudahkan dengan pemesanan kamar secara daring lewat aplikasi di ponsel pintar.
Nadhif ditawari uang ratusan juta dan hak kepemilikan hotel 20 persen. Namun dia curiga itu hanya siasat orang-orang kaya dan licik itu. Lambat laun dia bakal disingkirkan dan berakhir jadi gembel tak punya apa-apa.
Lagipula, Nadhif sudah bertekad. Sebangkrut apa pun, dia tak akan melanggar wasiat. Sang kakek dan ayah kerap mengulang wanti-wanti yang sama: jangan pernah jual hotel ini, jangan pernah renovasi, jangan pernah ganti perabotannya.
“Coba pikirkan lagi, Pak. Yusman dan Yasmin sebentar lagi lulus SMA dan masuk kuliah,” ucap Putri coba membujuk suaminya.
Kepala Nadhif berdenyut-denyut, dahi mengerut. Rasanya mau pecah. Yusman ingin kuliah hukum dan jadi pengacara. Yasmin ingin jadi dokter. Tak punya uang sama artinya dengan membunuh cita-cita mereka. Ayah yang membunuh cita-cita anak-anaknya adalah orang tua yang gagal dan sebaiknya dikubur hidup-hidup saja.
Dengan perasaan berantakan, tanpa sepatah kata pun, meninggalkan nasi bandeng keropok yang baru dia makan sesuap, Nadhif melangkah keluar setelah membanting pintu keras-keras.
***
“Lagi-lagi ada yang menganggap tempat ini tembok ratapan,” batin Ahmad Farhan, juru kunci pesarean atau makam Nyai Ageng Pinatih.
Malam itu, dia melihat sosok pria dewasa bertubuh kurus menangis sesenggukan di kijing makam sang nyai. Pria itu tak lain adalah Nadhif.
Nyai Ageng Pinatih adalah sosok perempuan yang menjabat sebagai Syahbandar Pelabuhan Gresik pada 1458-1477. Perempuan ini juga diyakini sebagai ibu angkat Sunan Giri.
Sebagai simbol kesuksesan dan kemakmuran, makam Nyai Ageng Pinatih dikeramatkan. Banyak orang datang membawa keluh-kesah soal permasalahan ekonomi, berharap sang Nyai jadi wasilah agar Allah menurunkan pertolongan.
Beberapa di antara peziarah berlebihan dalam berekspresi mengeluarkan beban hati dan pikiran. Contohnya adalah Nadhif yang membentur-benturkan kepala ke kijing sambil menangis meraung-raung.
Untung saja malam itu tak ada pengunjung lain. Hanya ada Nadhif dan Ahmad sang juru kunci.
Ahmad menggeret paksa tubuh Nadhif ke depan meja juru kunci. Dengan pose nyaris seperti atlet MMA sedang memberi kuncian, dia bekap tubuh Nadhif sampai tenang.
“Sudah, Pak! Sudah! Salah-salah Bapak malah berbuat syirik. Kalau niat sudah salah, bisikan setan bisa salah kita artikan sebagai pertolongan Allah!” ujar Ahmad tegas mengingatkan Nadhif.
Nadhif coba berontak. Ahmad pun merapal bacaan Ayat Kursi dan wirid untuk merukiahnya.
***
Setelah sadar, barulah Nadhif merasa malu teramat sangat. Tengah malam dia pulang, tapi enggan tidur sekamar dengan Putri. Masuklah dia ke kamar nomor tiga. Seperti hampir gila, dia bertekad menangkap hantu perempuan korban bunuh diri yang bikin keluarganya hancur.
“Ayo keluar kamu, perempuan sialan! Biar kucekik sampai mampus dua kali!” ucap Nadhif berbisik. Sebetulnya dia ingin berteriak sekencang-kencangnya, tapi dia enggan membuat istri dan kedua anaknya terbangun.
Nadhif tak ingat dia tertidur atau terjaga saat dia dijumpai sosok perempuan di kamar itu. Perempuan anggun itu berkerudung kain batik. Di atas kepalanya bertahta mahkota putih-kekuningan yang tampak seperti susunan sarang burung walet. Dua burung walet menempel di bahunya, satu di kanan, satu di kiri.
Perempuan itu meraih sesuatu dari kolong ranjang. Lalu dia menunjukkan pelat besi berwarna perak dengan ukiran aksara arab yang tidak terbaca jelas. Di keempat sudut pelat besi itu, ada pula ukiran kecil berbentuk siluet burung walet.
“Ini rajah burung walet. Jika memasang ini di loteng, aku jamin ribuan walet akan datang bersarang dan hotelmu juga akan kembali ramai. Tapi tidak akan kuberikan gratis. Tukar ini dengan sarang burung walet dari gua di pantai selatan,” kata perempuan itu.
***
Nadhif dibangunkan Putri saat azan subuh berkumandang. “Kenapa tidur di sini sih, Pak?”
Nadhif tak menjawab. Dia langsung beranjak ke kamar mandi dan berwudu. Di kepalanya masih terngiang-ngiang ucapan sosok perempuan yang semalam menjumpainya, entah di alam mimpi atau alam nyata.
Sepulang dari masjid, Nadhif mencoba mencari tahu di internet tentang gua di pantai selatan yang jadi sarana ritual pesugihan burung walet. Pencarian akan sedikit sulit karena lokasinya pasti bukan di Gresik dan sekitarnya yang merupakan wilayah Pantai Utara Jawa.
Selama beberapa hari, Nadhif juga mencoba menemui kenalan-kenalannya yang dia tahu menggemari klenik untuk bertanya.
Sampailah Nadhif pada kesimpulan bahwa gua yang dimaksud sosok perempuan itu berada di pantai salah satu kabupaten di selatan Jawa Tengah. Di tempat itu, masyarakat setempat memang punya ritual ngunduh sarang walet yang dipersembahkan untuk Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong.
Nadhif ragu dan menimbang-nimbang apakah perlu berangkat ke sana. Namun, pada akhirnya, bayangan Yusman berjas hitam ala pengacara dan Yasmin berjas putih dan berkalung stetoskop yang memantapkan hatinya. Toh, di tengah keputusasaan, solusi paling tidak masuk akal sekalipun tetaplah mengandung harapan.
Suatu pagi, Nadhif pun berpamitan pergi naik bus. “Ada urusan bisnis,” jawab dia sekenanya ketika Putri bertanya. Nadhif enggan menceritakan alasan sebenarnya. Sebab, dia tahu Putri pasti akan menceramahi dan melarangnya.
***
Setelah menempuh lebih dari delapan jam perjalanan, tibalah Nadhif di daerah yang dia tuju. Dia menunggu larut malam sebelum menyambangi gua di pantai. Sebab, jika berangkat saat hari masih terang, dia akan menjumpai para pengunduh sarang walet lokal. Kedatangan orang asing di lahan penghidupan penduduk lokal tentu bukan ide yang bagus.
Perjalanan ke gua tidak mudah, dia harus menuruni tebing yang cukup curam di tepi pantai. Berbekal helm bersenter, tali, dan pengait seadanya, dia menerobos malam. Bayang-bayang rajah walet terus menghantui. Dia harus mendapatkannya.
Debur ombak begitu kuat menghantam dinding tebing. Nadhif bergidik melihat batu-batu karang tajam yang siap mencabik-cabik tubuhnya jika dia sampai terjatuh.
Sebagai peternak walet rumahan turun-temurun, Nadhif tak habis pikir ada orang-orang yang sehari-hari rela bertaruh nyawa untuk mengunduh sarang walet di medan seekstrem ini.
Setelah bersusah payah, dengan detak jantung bagai tabuhan genderang, Nadhif sampai juga di mulut gua. Rupanya gua ini kecil saja, tidak terlalu tinggi pula langit-langitnya. Menyorotkan senter ke atas, dia melihat sekawanan walet tengah rehat di sarang-sarangnya.
Sebagai orang dari keluarga pembudidaya walet rumahan, Nadhif selama ini diajari, haram hukumnya memasuki gedung sarang walet dan melakukan perawatan pada malam hari. Sebab, walet adalah burung yang beraktivitas di siang hari. Jika diganggu saat mereka beristirahat di malam hari, walet bisa stres dan terbang berhamburan.
Dia tidak tahu apakah perilaku walet di gua juga serupa. Namun, bagaimanapun, dia terpaksa melakukan ini malam-malam.
“Maafkan aku, walet-walet,” gumam Nadhif sambil menyorotkan cahaya senter ke sudut langit-langit gua. Di satu titik, dia mendapati ada sarang walet yang berbeda dari lainnya. Sarang itu berderet melingkar seperti mahkota. Warnanya pun lebih cemerlang.
Nadhif menoleh ke kanan-kiri, mencari-cari kalau ada bambu atau tongkat panjang yang bisa dia pakai untuk meraih sarang itu. Dia merutuki diri karena tidak terpikir membawa bambu.
Terpaksa, dia harus memanjat dengan alat bantu tali dan pengait. Saat sepatunya menapak di dinding gua, Nadhif menarik napas panjang. Dia pun perlahan merayapi gua. Dengan keringat bercucuran sebesar biji-biji jagung, dia hampir menggapai sarang yang dia inginkan. Namun nahas. Ctas!!! Tali yang menopang tubuh Nadhif putus. Seperti dalam adegan gerak-lambat, Nadhif merasa tubuhnya melayang di tengah-tengah gua. Burung-burung walet berhamburan dari sarang mereka, terbang mengitari tubuhnya. Wajah Putri, Yusman, dan Yasmin, berkelebat di pandangan Nadhif sebelum tubuhnya jatuh berdebam keras. Kepalanya membentur batu karang. Warna merah sebentar menghias sebelum dihapus oleh air yang mengalir deras di bawah langit-langit gua dan menyeret tubuhnya ke laut.
Gresik-Pati, 12-21 November 2023
Mazka Hauzan lahir pada Desember 1993. Saat ini dia tinggal di Kabupaten Pati, Jawa Tengah dan bekerja sebagai jurnalis di Tribun Jateng (Kompas Gramedia Group). Karya tulisnya, baik prosa, esai, maupun laporan jurnalistik beberapa kali dimuat di media massa atau memenangkan lomba. Media massa yang pernah memuat karya cerpennya di antaranya ialah Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dan Harian Rakyat Sumbar. Karya cerpennya juga beberapa kali mengantarkannya menjadi juara lomba, antara lain Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional UKM Pers Politeknik Negeri Padang (2018) dan Juara 2 Lomba Cerpen Nasional bertema “Ada Apa dengan Indonesia?” LPM Manunggal Universitas Diponegoro (2019). Dia juga pernah meraih Juara 2 Lomba Menulis Esai tingkat Nasional LPM Al-Mizan IAIN Pekalongan (2018). Di ranah jurnalistik, prestasi yang dia raih antara lain Juara Harapan 2 Anugerah Pewarta Astra 2021 PT Astra International, Juara Harapan 3 Lomba Jurnalistik Kominfo Jateng 2023, dan Penerima Beasiswa S2 BRI Fellowship Journalism.
Residensi Literatutur mengundang 18 Penulis di Indonesia untuk diundang ke Gresik dalam upaya melakukan pembacaan, penggalian ide, dan menemukan gagasan atau kemungkinan lain yang kemudian dituangkan dalam cerita pendek. Residensi ini diadakan oleh Yayasan Gang Sebelah yang didukung oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.