
Nicolina Maria (Marie) Sloot lahir di Semarang pada 13 Januari 1853, di Hindia Belanda (Nederlands-Indië). Ia tumbuh menjadi salah satu penulis paling termasyhur pada masanya, terkenal karena kisah-kisahnya tentang perempuan tangguh, cerdas, dan mandiri—sebuah representasi yang kontras dengan pandangan kolonial yang merendahkan perempuan pribumi. Karya-karyanya membuka mata banyak orang Eropa terhadap realitas identitas Indo, sekaligus pergulatan antara nostalgia dan kolonialisme, membuat Marie dikenang sebagai sosok yang berpengaruh dalam sastra Hindia Belanda.
Marie lahir dari Louise (Wiesje) van Haastert, seorang perempuan Indo-Eropa, dan Carel Sloot dari Twente, Belanda, yang merantau ke Hindia Belanda untuk menjadi guru. Tak lama setelah kelahiran Marie, keluarga ini pindah ke Grissee, Jawa Timur, di mana Carel menjabat sebagai onderwijzer. Kehidupan mereka kemudian berpindah-pindah, dari Semarang ke Surabaya, hingga Batavia. Di Batavia, Marie mulai mengumpulkan pengalaman yang kelak mewarnai karya-karyanya, termasuk feuilleton tentang Tante Jet.
Lanskap Grissee turut membentuk imajinasi Marie. Kota pelabuhan ini tidak hanya multikultural, dengan masyarakat Indo-Eropa, Arab, Tionghoa, dan pribumi, yang menjadikan situasi tidak mempertanyakan asal muasalnya. Grissee menyimpan kenangan yang mendalam bagi Marie. Bukan sekadar tempat singgah. Namun terpatri pengalaman, ingatan, dan pemaknaan di benaknya.
Marie memulai karier kepenulisannya dengan novel De Jonkvrouwe van Groenerode pada tahun 1874. Untuk pertama kalinya, ia memakai nama pena Melati. Kepiawaiannya menulis kisah-kisah yang dekat dengan kehidupan perempuan Jawa membuat penerbitnya, Kolff, menambahkan “van Java” di belakang nama penanya. Sejak itu, Melati van Java dikenal sebagai penulis yang terus menuliskan karya-karya yang memberi suara bagi perempuan Hindia Belanda.
Dalam novel tersebut, terdapat bab berjudul Aan den oever der zee, yang dibuka dengan kalimat, “Grissee adalah sebuah kota di tepi pantai yang menawan, terletak sebelas mil dari Surabaya, yang dalam beberapa hal menyerupai Scheveningen—sebuah kota di Belanda. Sebuah jalan datar yang indah, meski agak monoton, mengarah ke daratan; sepanjang pantai, tempat ini dapat dicapai dengan perahu kecil.”
Meskipun karya ini fiksi, Melati van Java cerdas membangun imajinasi pembaca tentang Hindia Belanda, khususnya Grissee. Tanpa mengangkat senapan atau berteriak di medan perang, ia berhasil meletupkan kata-kata sebagai bentuk perlawanan halus dan pembelaan terhadap perempuan Hindia. Pengaruhnya begitu besar hingga memperluas perspektif pembaca terhadap dunia kolonial.
Nama Melati van Java kian dikenal hingga ke penjuru Hindia Belanda. Novel-novelnya yang lain terus terbit, dan pada tahun 1893, ia menjadi salah satu wanita pertama yang diterima sebagai anggota Maatschappij der Nederlandse Letterkunde, perkumpulan sastrawan paling eksklusif di Belanda.
Barangkali, bagi Melati van Java, Grissee bukan sebuah definisi. Grissee adalah makna, pengalaman, dan tujuan. Jika hari ini warga setempat memahami apa yang dialami Marie, tentang pandangannya terhadap Grissee—sekarang dikenal sebagai Gresik—barangkali tidak lagi terbatas dengan narasi perubahan dan industrialiasi. Sebab, bisa jadi, mereka yang demikian akan melihat nuansa khas yang juga tercermin dalam paragraf selanjutnya pada bab Aan den oever der zee dalam novel De Jonkvrouwe van Groenerode.
“Pada suatu sore yang sejuk, Eugenie duduk sendirian di galeri yang menghadap laut (Grissee). Ia baru saja menjahit, tetapi jari-jarinya yang lelah beristirahat di pangkuannya, sementara matanya mengikuti gelombang yang menggulung keras ke pantai, lalu tiba-tiba pecah dan melemah.”
Melalui kata-katanya, Grissee seolah hidup abadi—bukan sekadar di peta, tetapi di benak dan narasi sastra Hindia Belanda, menjadi kota yang terus dikenang melalui tulisan Melati van Java.
Oleh Tim Riset Yayasan Gang Sebelah
Sumber:
Disertasi Melati van Java: Dochter van Indië oleh Geertje Cornelia Grietje van de Loo
Disarikan dari beberapa majalah dan jurnal dbnl.org
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.
