Perempuan, sejatinya, selalu mendapatkan tempat dan perlakuan istimewa. Mulai dari ranah domestik, pernikahan, hingga interaksi di lingkungan sosial. Namun, keistimewaan itu sering kali menjadi belenggu. Khususnya, ketika masih menjadi anak dara dan dihadapkan pada persoalan memilih pendamping hidup.
Dalam memilih pasangan hidup, anak dara tak mudah mendapatkan kesepakatan bersama. Latar belakang sosial dan ekonomi sering kali dijadikan pertimbangan utama, sebelum akhirnya benar-benar menjatuhkan pilihan. Kegelisahan seperti ini sering dialami anak-anak dara. Hingga akhirnya kisah-kisahnya sering kali diangkat ke dalam sebuah cerita untuk dibagikan dan menjadi pengalaman bersama. Seperti halnya dalam film.
Film-film karya sineas Indonesia beberapa tahun terakhir sering menceritakan kisah-kisah peran perempuan. Seperti Kisah Hayati dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013), Risna dalam film Uang Panai (2016), dan Gendis dalam film Ini Kisah Tiga Dara (2016).
Kisah ketiga film ini dianggap masih relevan hingga hari ini. Hayati yang dipandang sebagai gadis cantik jelita bunga desa, namun kisah cintanya harus sirna karena perbedaan latar belakang sosial. Ia tak bisa menuntut lebih jauh atas kondisi yang terjadi padanya. Sebagai anak dara, pilihannya hanya mengalah.
Berbeda dengan Risna, kisah ‘si anak dara’ ini terbendung oleh syarat pernikahan secara adat. Pilihannya sudah tepat dengan latar belakang sosial yang sama. Namun, satu hal yang menjadi ganjalan adalah tradisi “Uang Panai”. Tradisi ini memaksa kekasihnya harus berjuang mati-matian untuk meminang dirinya.
Sementara itu, Kisah Gendis dalam film Inilah Kisah Tiga Dara mendapat peran sebagai anak pertama dari tiga perempuan bersaudara. Kondisi ini seakan-akan menjadi musibah di saat tak jua dipertemukan dengan jodoh. Di mata orang lain, dia hanya mengedepankan prioritasnya sebagai wanita karir dan mengesampingkan persoalan pasangan. Nyatanya tidak semudah itu. Ia butuh waktu dalam pencarian, bukan persoalan pilih-pilih.
Meskipun kisah ketiga film tersebut dalam bentuk karya fiksi, tapi muatan di dalamnya merupakan kenyataan. Bagaimana posisi anak dara dalam bingkai film-film tersebut terlihat disekat oleh aturan-aturan leluhur ataupun keluarga itu sendiri. Terkesan harus memenuhi banyak keinginan sehingga lupa pada keinginan sendiri. Padahal, sejatinya, perempuan bebas menentukan pilihannya.
Penulis : Ananda Shandy
Editor : Abizar Purnama
* Pernah terbit di Gresiknesia.com dalam Arisan Menulis / Desember 2020