“Pada akhirnya, saya cukup normal. Saya tidak memiliki kebiasaan aneh. Saya tidak mendramatisir. Yang terpenting, saya tidak meromantisasi aktivitas menulis,” jawab Jose Saramago ketika diwawancarai Donzelina Barroso dari The Paris Review. Wawancara dilakukan di rumah Saramago di Lanzarote, bagian dari Kepulauan Canaria, Spanyol, pada Maret 1997, setahun sebelum ia menerima penghargaan Nobel Sastra pada 1998.
Jose de Sousa Saramago atau yang dikenal sebagai Jose Saramago adalah penulis Portugal yang menghabiskan sebagian besar karir kepenulisannya di Lisbon, Portugal. Setelah menerima banyak tekanan dari elemen konservatif di pemerintahan Portugal dan Gereja Katolik, ia memutuskan pindah ke Lanzarote. Di tempat barunya itu, ia ditemani oleh istri dan tiga anjingnya yang tak berhenti menyalak.
Perpindahan tersebut disinggung oleh Donzelina Barroso dalam pembuka wawancaranya, bagaimana seorang penulis memulai aktivitas menulisnya di tempat yang baru, yang asing, yang jauh dari lingkungan di mana ia menghabiskan sebagian besar hidupnya. Tepat saat pertanyaan itu dilontarkan, Saramago menjawabnya dengan enteng saja seperti yang saya kutip di awal tulisan pengantar ini.
Menulis, atau menjadi penulis, menurut Saramago seperti halnya melakukan pekerjaan normal lainnya; yang kadang hasilnya sesuai dengan keinginan, kadang atau seringnya tidak. Meski wawancara Saramago dilakukan 26 tahun lalu, saya kira jawaban-jawabannya masih terasa segar sampai sekarang, terutama saat semakin ke sini banyak penulis—dan pekerja “intelektual” lainnya—merasa bahwa dirinya adalah pusat dunia.
Menormalisasi praktik kepenulisan sebagai pekerjaan yang juga sama biasanya dengan pekerjaan lain membuat kita menunda mistifikasi proses “kreatif” dalam menulis yang sering tampak kelewat muram, sublim, dan seolah-olah steril dari percobaan dan pendekatan yang wajar dilakukan oleh manusia.
Kiranya itu adalah salah satu alasan program-program residensi diinisiasi. Praktik residensi, dalam konteks ini adalah untuk penulis, dilakukan agar seperti manusia normal lainnya, penulis juga punya kesempatan untuk keluyuran (dengan-atau tanpa tujuan yang jelas), menjadi yang-asing, berjarak, dan memeriksa motif-motif yang tak hanya didorong oleh rasa penasaran akan sesuatu yang menggoda, unik, eksotik, dan memanjakan seleranya semata.
Para penulis yang melakukan praktik residensi memiliki kesempatan untuk berada pada keterasingan temporal dan spasial. Mereka tak lagi jadi seorang native, jikalau native-pun, mereka terpaksa dan memaksa diri untuk tak buru-buru meromantisasi tempat di mana mereka berada. Keterasingan temporal yang memburunya untuk bertindak lebih efektif, keterasingan secara spasial memburunya untuk lebih observatif dan hati-hati sebelum menuangkan gagasannya ke dalam tulisan. Tak ada lagi intuisi yang lahir dari ruang kosong yang sublim dan transendental. Semuanya tampak nyata, senyata beban kerja dan deadline yang menghampiri para pekerja pada umumnya.
Sebagai kumpulan orang-orang biasa, penulis berjumpa dengan orang-orang biasa lainnya beserta problema kesehariannya. Para penulis juga akan mengalami bagaimana sebuah lanskap berubah; yang membuat ingatan kolektif warga berubah dalam memandang wajah kotanya. Dari berubahnya lanskap kota itulah warga dapat menggali kembali kenangan yang berasosiasi dengannya baik secara kolektif sebagai warga kota maupun sebagai individu. Dan kenangan merupakan salah satu kunci bagi kestabilan eksistensial seorang individu (personal) maupun kesatuan kelompok (sosial).
18 cerita pendek yang dihimpun dalam buku ini adalah salah satu upaya untuk menggali apa yang pernah, masih, dan kemungkinan masa depan yang bisa terjadi di Gresik sebagai sebuah kota. Cerpen Mungkin Nanti, Tanah Tenggara dan Bandar Grissee di Pesisir Utara Tak Lagi Ada (Nurillah Achmad) membuka antologi ini dengan pertautan kisah ancaman ekologis dan ekonomi yang menimpa pantura–tempat kota Gresik berada, gumuk-gumuk serta perkebunan tembakau di Jember, atau di sudut-sudut kota manapun di dunia. Sepasang Kenangan (M. Rifdal Ais Annafis) menguarkan kembali aroma luka permanen sejarah kita tanpa perlu berlarat-larat mengiba dan berusaha mengais air mata sebab peristiwa enam lima. Tak ada heroisme dan romantika, karena kota buru-buru dibangun di atas ribuan penderitaan warganya.
Mazka Hauzan Naufal secara cermat menggunakan seluruh pengalaman residensinya untuk meramu cerita pendek Petaka Rajah Walet di Hotel Tua. Mulai dari penggunaan lanskap, makanan yang ia cecap, sejarah, trauma, mitos, tindakan-tindakan garib tokohnya, hingga apa-apa yang mesti siap kalah dilahap oleh nafsu gergasi industri. Tak ada yang tumpang tindih berebut untuk diceritakan, semuanya diuntai menjadi kesatuan cerita yang kompleks dan utuh.
Keseluruhan cerita pendek yang berhasil dihimpun di dalam antologi ini tidak berangkat dari nada yang sama. Masing-masing memiliki proses dan kematangan yang berbeda. Kepada pembaca yang berbahagia seluruh tulisan-tulisan ini akan menghampiri dan menjadi penanda bahwa sebuah proses kerja penulisan terjadi dua arah: dari publik untuk penulisnya dan dari penulis untuk publiknya.
Mewakili Yayasan Gang Sebelah, tim residensi Literatutur, penulis, redaksi, dan penerbit, saya ucapkan selamat menikmati kisah-kisah yang tersaji di dalam antologi cerpen hasil residensi ini. Selamat membaca!
Surabaya, 28 November 2023.
Residensi Literatutur mengundang 18 Penulis di Indonesia untuk diundang ke Gresik dalam upaya melakukan pembacaan, penggalian ide, dan menemukan gagasan atau kemungkinan lain yang kemudian dituangkan dalam cerita pendek. Residensi ini diadakan oleh Yayasan Gang Sebelah yang didukung oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.