Petang itu angin di penghujung musim kemarau berembus sedikit lebih kencang dari biasa, membawa aroma laut meski kediaman keluarga Shi berada cukup jauh dari Jiu Gang. Kulit Wang Jin terasa sedikit kasar dan lidahnya terasa asin karena garam yang terbawa angin. Burung-burung camar berkicau, berlomba pulang ke sarang. Bunga-bunga peony mengangguk-angguk ringan seakan tengah menikmati perlombaan itu, berjejer menghiasi sepanjang langkan teras paviliun Nona Salamah. Wang Jin meninggalkan posnya sejenak kala adzan maghrib berkumandang, pergi menuju masjid tak jauh dari paviliun, masih di dalam kediaman yang terdiri dari belasan paviliun, kolam ikan, dan taman bunga itu. Semua laki-laki keluarga Shi sudah berkumpul, termasuk para pelayan dan pengawal. Tuan Muda Jisun, anak laki-laki sulung keluarga besar Shi sekaligus adik kandung Nona Salamah, bertindak sebagai imam.
Seusai sholat, Wang Jin hendak segera kembali ke posnya, tapi langkahnya terhenti mendengar percakapan yang menyangkut Nona Salamah. “Memang sebaiknya Salamah segera menikah, mengingat usianya tak lagi muda. Kau kenal Keluarga Lu, saudagar kaya pedagang kain itu, bukan? Kudengar putra sulung mereka tengah mencari calon istri. Mungkin kau bisa sampaikan pada Salamah untuk mempertimbangkannya.” Percakapan itu jadi membosankan ketika kedua orang yang bicara saling melempar tugas siapa yang harus bicara pada Nona Salamah. Wang Jin pun kembali ke paviliun majikannya. Hingga matahari terlelap dan berselimut malam, majikannya masih belum muncul. Wang Jin duduk terkantuk-kantuk menunggu di tangga teras.
“Tidak mau! Aku tidak sudi!” Wang Jin sontak berdiri mendengar teriakan tegas Nona Salamah. Dalam balutan gaun sifon berwarna hijau muda berlapis bijia bergambar bunga plum, ia melesat menuju paviliun dalam langkah-langkah besar sehingga ujung gaunnya tersentak-sentak kewalahan, seperti pundak Wang Jin ketika Nona Salamah membanting pintu. Terdengar kegaduhan di dalam, sampai Wang Jin bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan majikannya. Lama ia menunggu, sebelum akhirnya Nona Salamah keluar dalam balutan pakaian laki-laki serba hitam. Baju lengan panjang berkerah tinggi, celana panjang, serta sehelai kain putih bercorak yang tersampir di bahu dan diselipkan di sabuk pinggang. Rambut panjangnya yang tadi tergerai kini disanggul tinggi-tinggi. Buntalan kain berisi pakaian diikat di belakang punggung.
“Nona? Mau ke mana dengan pakaian seperti itu?” Wang Jin menganga seperti orang bodoh. Tiba-tiba, ia menyadari Nona Salamah sungguh-sungguh hendak pergi selamanya ketika majikannya melangkah ke arah paviliun Tuan Besar dengan wajah nelangsa. Dalam diam ia mengekor. Wang Jin tahu kehidupan Nona Salamah tak lagi sama sejak ayahnya, Tuan Besar Shi Jinqing, meninggal sebulan lalu. Anggota keluarga lain pun tak lagi sembunyi-sembunyi menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap Nona Salamah karena ialah putri kesayangan Tuan Besar. Sejak muda Nona Salamah telah diajari Tuan Besar berbagai hal tentang berdagang, berlayar, termasuk ilmu ketatanegaraan. Ketika Tuan Besar jatuh sakit, Tuan Muda Jisun secara sepihak mengambil alih posisi sebagai kepala keluarga dan jabatan Tuan Besar di Jiu Gang sebagai kepala kenegaraan. Keluarga besar sepenuhnya mendukung dengan alasan Tuan Muda Jisun adalah anak laki-laki tertua, bagaimana pun ia yang lebih pantas melanjutkan kepemimpinan.
“Aku ingin pergi dari sini. Pergi ke tempat yang jauh. Dan tidak akan kembali lagi kemari.” Suara Nona Salamah bergetar, air mata jatuh menetes membasahi bantal. Kamar Tuan Besar masih rapi karena Nona Salamah selalu membersihkan dan menghabiskan waktu di sana. Ini malam terakhirnya duduk di ranjang tempat ia merawat Tuan Besar yang terbaring sakit sampai menghembuskan napas yang terakhir.
“Saya akan menemani Nona. Ke mana pun Nona pergi.” Sejak pertama kali diterima bekerja sebagai pengawal, Wang Jin sadar sepenuhnya majikannya itu berada di luar jangkauan. Ia miskin, tidak memiliki gelar sarjana walau ia membaca cukup banyak, ia juga tidak bisa disebut ksatria karena belum pernah ikut berperang, tubuhnya lebih kecil dibandingkan pemuda-pemuda lain. Ia dipekerjakan sebagai pengawal semata-mata karena pandai bermain pedang. Bisa menemani Nona Salamah dan memandangi paras rupawannya dari dekat, sudah cukup bagi Wang Jin. “Kita bisa mampir ke rumah saya sebentar untuk mengambil barang, kalau Nona tidak keberatan.”
Dalam perjalanan menuju pelabuhan, Wang Jin pulang mengemas pakaian seadanya dan mohon pamit kepada induk semang yang menangis tersedu-sedu mendengar penjelasannya. Ia pun bergegas menyusul Nona Salamah yang telah menunggu di pelabuhan, memilah-milah hendak menyusup ke kapal yang mana. “Kita naik kapal yang itu saja.” Nona Salamah menunjuk kapal terbesar dan paling terawat dibanding kapal-kapal lain di dermaga. Beberapa kuli masih mondar-mandir memasukkan barang. Sepertinya mereka berencana berlayar malam ini juga.
Nona Salamah mengeluarkan belati yang tersampir di sabuknya, membuka paksa beberapa peti di tumpukan yang tengah diangkut oleh para kuli itu, menumpahkan sebagian isinya; tembakau, cengkih, gula, kemudian segera bersembunyi di tumpukan lain. Kebocoran itu mengesalkan para kuli karena mereka harus mencari peti baru dan merapikan tumpahan. Selagi mereka sibuk berdebat, Wang Jin dan Nona Salamah mengendap-endap masuk ke kapal. Mereka duduk diam di balik tumpukan peti dan kegelapan yang pekat, sabar menunggu kapal bergerak meninggalkan dermaga.
Wang Jin terbangun karena tubuhnya oleng dan menabrak peti. Ia sepertinya tertidur tak lama setelah duduk. Matanya kini telah terbiasa melihat dalam kegelapan, mendapati Nona Salamah tak lagi bersamanya. Ia pun naik ke geladak. Majikannya tengah bersandar, menatap kejauhan bentangan gelombang sutra kehitaman yang memantulkan cahaya bulan. “Aku ingat dulu sering diajak Ayahanda berkeliling naik kapal, mengawasi pelabuhan, membantunya memperbaiki bagian kapal yang rusak. Ia yang mengajariku segalanya.” Lagi, setetes bening air mata melesat turun, seketika hilang ditelan samudera. Nona Salamah menceritakan soal perjodohan yang telah Wang Jin curi dengar. Mengenali sifatnya, wajar jika majikannya mengamuk dan memutuskan kabur. “Tentu saja aku menolak. Aku akan menikah dengan pria pilihanku sendiri, bukan pilihan orang lain, dan bukan karena uang.” Wang Jin hanya diam mendengarkan majikannya bicara. Sesekali ia memberi tanggapan singkat. Mereka tidak tahu siapa pemilik kapal ini dan ke mana kapal menuju. Nona Salamah memutuskan akan menentukan langkah selanjutnya setelah mereka tiba di tempat baru. Wang Jin menemani majikannya mengobrol hingga matahari terbangun dan menyibak malam, lupa mereka tengah menjadi penyusup.
“Selama ini saya tidak terlalu tertarik mengikuti pelaut berlayar ke kota lain. Namun akhir-akhir ini saya berpikir, saya harus mengetahui seluk beluk perdagangan dan mengenal kota lain jika ingin menjadi pemimpin yang lebih baik. Lalu ketika saya memutuskan untuk ikut, saya pulang membawa serta wanita secantik Nona.” Seorang bangsawan, mungkin pejabat pemerintahan, berjalan santai mendekati Wang Jin dan Nona Salamah. Kain merah dan perhiasan emas di bahu, lengan, dan kaki menghiasi lekuk-lekuk kegagahannya. Rambutnya diikat ke atas. Wang Jin menyipit, memerhatikan cara pejabat itu memandang Nona. Ia kenal betul tatapan itu. “Saya Patih Samboja, dari Kerajaan Blambangan.” Nona Salamah mengangguk singkat, sementara Wang Jin membungkuk lebih rendah. Ia merapat di belakang majikannya, tangannya menyentuh pedang yang tergantung di sisi kiri sabuk, memberi pesan pada pejabat itu ialah pengawal yang siap menghajarnya bila berbuat kurang ajar.
Namun, alih-alih merasa tersaingi, Wang Jin hampir saja membiarkan mulutnya menganga lebar seandainya ia tidak memiliki pengendalian diri yang kuat. Sang Patih begitu blak-blakan, sama sekali tak berusaha menyembunyikan ketertarikannya terhadap Nona Salamah. Wang Jin bahkan kagum. Pria seperti ini sungguh pantas mendampingi majikannya.
“Maaf sudah naik kapal ini tanpa sepengetahuan Patih.” Nona Salamah bergeser ke depan Wang Jin, kepalanya terangkat tinggi. “Jika saya dan pengawal saya bersalah, silakan beri hukuman setimpal setiba kita di tujuan.” Wajah persegi pria itu begitu lembut, senyumnya hangat, tubuhnya tegap penuh wibawa. Sebaliknya, ia memuji Nona Salamah karena berhasil menyusup masuk. “Maafkan saya juga karena telah merusak beberapa peti sehingga menghambat perjalanan Patih. Izinkan saya dan pengawal saya membantu selama pelayaran. Kami bisa mengatur layar, membersihkan kapal, mencuci pakaian. Apa saja.”
Ucapan Nona Salamah menjadi awal kesibukan mereka selama 14 hari berlayar. Majikannya itu mengajari para kuli kapal cara membuat peti kemas yang rapat dan tidak mudah rusak, juga cara mengikat peti-peti ke gerobak dan cara menyusunnya agar bisa mengangkut lebih banyak. Anak buah kapal yang masih belum berpengalaman diajarinya cara mengendalikan layar serta membaca mata angin, awan, dan cuaca. Setelah mengetahui Patih Samboja dan para anak buahnya ternyata beragama Islam, Nona Salamah mengaji setiap petang di geladak kapal.
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى ٱلْعَرْشِ وَخَرُّوا۟ لَهُۥ سُجَّدًا ۖ وَقَالَ يَٰٓأَبَتِ هَٰذَا تَأْوِيلُ رُءْيَٰىَ مِن قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّى حَقًّا ۖ وَقَدْ…”
أَحْسَنَ بِىٓ إِذْ أَخْرَجَنِى مِنَ ٱلسِّجْنِ وَجَآءَ بِكُم مِّنَ ٱلْبَدْوِ مِنۢ بَعْدِ أَن نَّزَغَ ٱلشَّيْطَٰنُ بَيْنِى وَبَيْنَ إِخْوَتِىٓ ۚ إِنَّ
رَبِّى لَطِيفٌ لِّمَا يَشَآءُ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْحَ
Agaknya suara merdu Nona Salamah menjadi kekuatan terbesarnya menaklukkan hati Patih Samboja, selain kecerdasan dan kelincahannya. Kesibukan di kapal telah mengobati kesedihannya. Wajah Nona Salamah tak lagi muram, matanya tersenyum penuh binar walau bibirnya terkatup rapat. “Nona menyukai Patih Samboja.” Wang Jin tidak bertanya. Ia dan majikannya sama-sama tahu.
Patih Samboja dan Nona Salamah menikah beberapa hari setelah tiba di Kerajaan Blambangan. Wang Jin begitu terharu, seolah sedang menyaksikan pernikahan saudaranya sendiri. Bohong bila ia tak patah hati, tapi turut bahagia karena ia tahu lebih dari siapa pun, Nona Salamah pantas mendapatkan pria sehebat Patih Samboja. Pernikahan itu disambut baik oleh Raja Blambangan, tapi entah kenapa Wang Jin merasakan jarak antara sang Raja dan patihnya. Firasatnya terbukti tiga bulan kemudian.
Patih Samboja diusir oleh Raja Blambangan karena mendukung penyebaran agama Islam di kerajaan itu. Nona Salamah mengusulkan agar mereka pergi ke kota lain di sebelah timur, yang masih merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Di sana, ia memiliki seorang saudara jauh yang mungkin bisa membantu. Wang Jin dipercaya oleh Nona dan Patih Samboja sebagai kepala pengawal. Ia memastikan perjalanan mereka ke timur berjalan lancar. Berbekal satu kapal kecil, serta lima pengawal Sang Patih yang setia, mereka berangkat.
Perjalanan itu tak semudah yang dibayangkan. Di malam ketiga, hujan petir mengoyak-ngoyak langit gelap yang membayangi mereka. Guntur tak henti-hentinya menggelegar. gelombang mengayun-anyun mengambil momentum, air laut saling bergandengan agar dapat mengalahkan tingginya gunung, menerkam siapa pun yang terombang-ambing tak berdaya di atasnya. Air memerciki orang-orang dan kapal, tirai kabut menyembunyikan apa pun yang berjarak lebih dari lima meter. Nona Salamah sibuk meneriaki Wang Jin dan kelima pengawal lain agar lebih lincah dalam mengendalikan layar kapal. Ia sendiri turut membantu menarik salah satu sisi, sementara menyerahkan kemudi kapal kepada suaminya.
Tiba-tiba saja gelombang besar menghantam lambung kiri kapal, seakan mereka baru saja dilempari sebatang pohon. Setelah dua hantaman lain, Wang Jin dapat mendengar derak kayu patah. Lambung itu bocor. Mereka akan tenggelam. Wang Jin menyuruh empat pengawal ke bawah untuk menutup lubang. Satu sambaran petir mematahkan tiang layar sebelah kanan. Sebagian layar terjatuh menutupi lantai. Wang Jin berlari ke bagian yang patah dan berusaha memotong tambangnya atau tiang kayu yang patah itu akan terlempar-lempar dan menghantam siapa pun yang cukup dekat.
Sambaran petir kedua melecut lantai kapal hingga berlubang. Nona Salamah semakin kewalahan. Kapal terombang-ambing hingga hampir tegak. Tambang dan rantai jangkar yang tergulung rapi di sudut mulai bergeser, lalu berserakan. Jangkar meluncur melewati Nona Salamah, membentur kakinya hingga terjatuh, lalu dengan mantap melempar salah seorang pengawal ke tengah badai. Nona Salamah kehilangan keseimbangan dan melepaskan layar. Wang Jin dan Patih Samboja berlari bersamaan untuk meraihnya sebelum ia hilang ditelan laut. Sang Patih berhasil meraih tangan istrinya, tapi hanya untuk sesaat. Gelombang kembali menghantam hingga kapal miring ke kanan, nyaris terbalik.
“Wang Jin!” Patih Samboja berpegangan di tepian, bersusah payah mendorong Nona Salamah kembali ke kapal. Memahami maksud Sang Patih, ia meraih tangan majikannya. Sewaktu Wang Jin bermaksud mengulurkan tangan menarik Patih Samboja, gelombang besar lain datang dari arah kiri. Wang Jin dan Nona Salamah terempas, terlalu syok untuk menyadari Sang Patih dilahap begitu saja seperti lumut yang digerus.
Hanya Wang Jin dan Nona Salamah yang berhasil mencapai pantai dengan bermodalkan potongan papan kayu. Wang Jin mengikat kedua papan kayu itu dengan tambang agar mereka tetap bersama-sama. Dalam keadaan setengah sadar, majikannya meminta penduduk yang menemukan mereka agar dibawa menghadap Raja. Beruntung mereka terdampar di kota yang tepat. Istri Raja Brawijaya, saudara jauh yang dimaksud Nona Salamah, menyambut kedatangan mereka. Kemasyhuran ayah Nona Salamah telah terdengar hingga ke tempat itu, sehingga Raja tanpa ragu menghadiahkan rumah dan kapal untuk majikannya di dekat pelabuhan agar dapat membantu perdagangan di kota. Perjalanan ditempuh dalam waktu tujuh hari dengan naik kuda. Ketika mereka tiba, dua orang pelayan wanita datang menyambut. Rumah sudah dibersihkan dan siap ditempati. Wang Jin dan Nona Salamah yang masih bersedih dan belum pulih benar dari serangan badai, segera beristirahat.
Namun ia tidak ingin bersedih terlalu lama. Keesokan hari, ia mengajak Wang Jin pergi ke pelabuhan. Tempat itu tak terlalu berbeda dari Jiu Gang. Bahkan mereka berkesempatan menemui Raden Santri, syahbandar pelabuhan yang ternyata masih kerabat Sunan Ampel dan Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Mendengar itu, Nona Salamah memohon diperkenalkan kepada dua pesohor agama Islam itu, tidak ingin melewatkan kesempatan memperdalam ilmu agamanya. Semula Wang Jin tidak tertarik untuk ikut belajar, tapi lama-lama ia terpancing juga. Tidak hanya itu, ia juga diizinkan belajar ilmu berdagang agar bisa membantu Nona menjalankan usahanya.
“Menurutku, untuk menyebarkan agama Islam lebih luas lagi, kita bisa mengajak para pedagang dan pekerja.” Nona Salamah mengerutkan kening, berpikir keras. “Kita akan memberikan potongan harga kepada pembeli yang bersedia masuk Islam. Begitu pula dengan orang-orang yang ingin bekerja kepada kita.” Wang Jin menjalankan usul itu, meminta pekerja yang ingin bekerja di kapal Nona Salamah untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Di sore hari, Wang Jin akan mengumpulkan para pekerja yang tidak bertugas dan mengajak mereka mengaji bersama atau melantunkan sholawat.
“Tuan! Tuan!” Di suatu sore, saat Wang Jin dan beberapa kuli tengah berkumpul di pendopo rumah, salah satu pekerja yang seharusnya pergi berlayar ke pulau sebelah datang tergopoh-gopoh. “Tuan! Kami menemukan ini saat berlayar. Lalu karena terus diserang badai, kapal berbalik arah dan kami terpaksa pulang.”
Belum sempat Wang Jin melihat ‘ini’, tangisan bayi membahana. Bayi itu berteriak kencang sekali hingga wajahnya memerah, tangannya terkepal erat, perutnya naik turun memompa suara dan air mata, kakinya menendang-nendang. Kata salah satu pekerja, bayi itu ditemukan di dalam kotak kayu yang tersangkut di kapal. Mereka sepakat membawa pulang bayi itu karena tidak tega, berharap majikan mereka dapat melakukan sesuatu.
“Ada apa ribut-ribut? Ini sudah malam.” Selagi para lelaki itu kebingungan, Nona Salamah keluar menghampiri. Ia membelalak heran mendapati seorang bayi diletakkan di lantai pendopo, dikelilingi puluhan pria dewasa.
“Nona, bagaimana kalau Nona saja yang merawat bayi ini? Mungkin bayi ini memang berjodoh dengan Nona.” Wang Jin menceritakan kembali soal penemuan bayi itu. Cukup lama Nona Salamah merenung sebelum akhirnya meraih bayi itu ke dalam pelukannya. Seketika, bayi itu tenang dan dalam sekejap saja ia terlelap. Semua orang yang hadir sepakat Nona menjadi ibu angkat dari si bayi.
Kedatangan bayi itu tak menyurutkan semangat bekerja Nona Salamah, sebaliknya ia semakin gencar belajar, berdagang, dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara-cara halus. Sesekali, Wang Jin mengambil alih tugasnya sebagai ibu angkat, menggendong si bayi berkeliling kampung, bermain seharian di pendopo, atau mendendangkan sholawat hingga bayi itu tertidur. Ia sampai diejek oleh Nona Salamah karena sering melupakan tugas lain. “Kamu ini, senang sekali mengerem-ngeremi anak itu. Nanti dia jadi manja. Setelah cukup besar akan kuserahkan dia pada Sunan Ampel untuk belajar agama.”
lahir di Jakarta, 16 Maret, 31 tahun silam. Senang membaca dan menulis di waktu luang. Telah beberapa kali memenangkan lomba menulis dan menjadi kontributor antologi cerpen. Esai pertamanya berjudul ‘Memutus Rantai Trauma’ diterbitkan di Majalah Utusan. Pernah bergabung dalam Ubud Writers and Reades Festival 2018 dan 2019 sebagai program coordinator dan international program assistant. Terpilih sebagai salah satu peserta Lab Ekosistem Sastra: Creative Writing dalam acara Jakarta International Literary Festival 2019.
Residensi Literatutur mengundang 18 Penulis di Indonesia untuk diundang ke Gresik dalam upaya melakukan pembacaan, penggalian ide, dan menemukan gagasan atau kemungkinan lain yang kemudian dituangkan dalam cerita pendek. Residensi ini diadakan oleh Yayasan Gang Sebelah yang didukung oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.