BukaSinema, diambil dari idiom Berbuka (puasa) dan Sinema, sesuai waktu acara yang digelar saat bulan Ramadan. Selain itu, juga bermakna gelaran sinema terbuka. Memutar film-film dari para sineas di berbagai daerah untuk dipertemukan dengan penontonnya.
Tahun ini merupakan gelaran pertama bagi BukaSinema, sekaligus perdana bagi Yayasan Gang Sebelah dan Gresik Movie sebagai penyelenggara dalam melakukan panggilan terbuka terhadap filmmaker di luar Gresik untuk mengirimkan filmnya.
Hal ini sebagai wujud respons terhadap berdirinya Daris Cinema–sebuah bioskop pendidikan–di Kabupaten Gresik, dua bulan yang lalu. Daris Cinema yang menjadi ruang putar representatif dengan kursi, proyektor, dan sound yang memadai, mampu mendorong keberanian penyelenggara untuk membuka pintu seluas-luasnya sebagai ekshibitor. Sampai kemudian, sekitar 26 film masuk dari 9 kota/kabupaten dan 2 provinsi dalam kurun waktu 4-15 April 2022.
Kerja-kerja kuratorial yang telah dilaksanakan, kemudian menetapkan 11 film yang akan diputar, ditambah 3 film untuk program khusus merayakan Hari Puisi Nasional 2022 bekerja sama dengan komunitas Ruang Sastra Gresik. Seluruh film dalam BukaSinema, akan diputar pada tanggal 27-28 April 2022 di Daris Cinema, SMP Darul Islam Lantai II Jl. Dr. Setia Budi No. 5 Kabupaten Gresik.
Film-film yang masuk dalam meja kurasi tergolong segar dan terbilang sungguh menyenangkan. Sebagian besar film-film tersebut diproduksi tahun 2020 hingga 2022. Pengirimnya pun dari kategori yang beragam, dari ekstrakurikuler sekolah, universitas, komunitas, hingga rumah produksi profesional.
Bahagia rasanya, akhirnya dapat merayakan kembali pertemuan film dengan penontonnya secara langsung usai beberapa waktu terbatasi oleh peraturan terkait pandemi. Semoga BukaSinema turut memperkuat jaringan kerja semesta film di Indonesia hingga bahkan membentuk Gresik sebagai salah satu rumah yang ramah bagi perfilman nasional. Sampai di sini dahulu, mari bertemu di BukaSinema!
Salam,
Irfan Akbar
Progammer Bukasinema
Program Kuratorial Sesi I
Pelajar sering kali dikategorikan sebagai seseorang yang sedang menjadi siswa sekolah dasar hingga menengah akhir. Pemaknaan yang demikian seperti menakar persoalan-persoalan yang mereka hadapi selalu berkaitan dengan sekolah maupun instansi pendidikan.
Padahal, mereka yang dikatakan sebagai pelajar memiliki hidup yang lebih luas dari sekadar urusan sekolah. Atau jika pelajar diidentifikasi sebagai kelompok usia muda yang masih bersekolah, hal ini seolah meniadakan fakta bahwa banyak sekali anak-anak yang putus atau bahkan tidak sekolah karena berbagai faktor.
Melalui film-film di Sesi I, kita akan melihat bagaimana anak-anak menghadapi persoalan dari seseorang yang dekat dengan mereka. Alih-alih mencari jati diri, mereka sebenarnya sedang bercermin pada orang tua seperti dalam film Duplikat, guru dalam film Si Gembul, tokoh agama pada film Lari 3: Copet dan A Meaningful Takbiran.
Keempat film tersebut masing-masing memiliki cara bertutur yang berbeda, dengan perlahan menegaskan bahwa pendidikan tidak sebatas buku pelajaran maupun tugas dalam lingkungan sekolah saja.
Program Kuratorial Sesi II
Para pembuat film dalam melakukan pendekatan terhadap idiom kematian, seperti berkelindan. Ada yang ingin menyelenggarakan kematian, ada pula yang menjalani hidup di samping kematian, atau bahkan upaya-upaya dalam menggugat kematian.
Karmawibhangga, Yth, dan 1000 Hari Tiada Tangisan di Surga adalah tiga film yang bertutur tentang hal tersebut. Bahkan, ketiganya memiliki pilihan masing-masing dalam pemaknaan terhadap ritual kematian. Berlatar agama, sosial, bahkan kemanusiaan.
Di sisi lain, ritual-ritual menghadapi kematian tersebut dilakukan untuk menuju hidup yang seimbang–atau dapat diterima–sekaligus menjadi upaya menjauhi persoalan dengan cara masuk ke dalam persoalan itu sendiri. Berat, tetapi tetap dilakukan. Hasilnya, tetap kembali pada Tuhan.
Namun demikian, kematian memang akan selalu berdampingan dengan kehidupan dan barangkali terjadi di dekat kita. Namun, kita jarang sekali merasa atau justru kita memosisikan diri menjadi manusia yang menilai manusia lain sebagai kelompok minor dan perlu dikasihani.
Program Kuratorial Sesi III
Perihal sudut pandang maupun cara bercerita dalam medium film sangat beragam. Seiring perkembangan zaman, isu-isu yang diangkat pun turut memberi pengaruh terhadap filmmaker untuk menentukan pilihan bentuknya sendiri.
Dalam film Wrong Little Steps, cerita dipaparkan nyaris tanpa kamera yang biasanya menjadi sudut pandang penonton. Lalu, Kawan Astral dengan memilih hantu yang biasa menjadi objek, kini berperan sebagai subjek. Selanjutnya, Muluk memotret gaya hidup untuk dipublikasi di dunia maya. Kemudian, Hari Ke-13 merespons pandemi sebagai metafora jarak ketuhanan antara dua manusia.
Keempat film ini tidak memiliki kesamaan dalam tema. Masing-masing seperti mengejar bentuk yang berbeda dari biasanya, sebagai upaya untuk mengantarkan cerita atau membentuk sebuah pola.
Terlepas apa pun alasan sutradara, film tetaplah wujud dari gagasan dan sering kali tidak bisa diceritakan secara linear. Ia semacam kopi yang disajikan melalui cangkir untuk dinikmati di rumah, atau disajikan dalam kemasan plastik yang tertulis kutipan-kutipan gelisah sebagai tren agar bisa dinikmati anak muda nongkrong di mana saja. Meski ujungnya kopi tetaplah kopi bagaimanapun bentuknya.
Program Khusus Sesi IV
Jika dianalogikan sebagai bangunan, film adalah rumah yang memiliki banyak ruang. Film muskil berdiri sendiri, seperti aula besar yang kosong. Selain karena diciptakan oleh banyak tangan, film juga memiliki kemampuan untuk menghimpun banyak hal. Salah satunya adalah sastra, lebih khususnya lagi puisi.
Sebagaimana diketahui, 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Demikian, sebagai bentuk perenungan sekaligus perayaan, BukaSinema menghadirkan program khusus untuk memutarkan film-film hasil alih wahana dari puisi. Dalam kata lain, sebuah film yang diproduksi dari hasil menyadur, menerjemahkan, dan memindahkan puisi ke layar putih.
Pertama, film Hari Ini Sangat Cerah yang diangkat dari puisi berjudul Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu karya Joko Pinurbo. Berikutnya, yakni film Menjadi Lain dan Gendis hasil alih wahana–terinspirasi–kitab puisi Perihal Gendis milik Sapardi Djoko Damono.
Bersama Yusnita Larashati dan Shandy Anata, kita akan membincang ketiga film tersebut. Alih-alih terkekang dalam stigma bahwa selama ini film-film yang diangkat dari karya sastra tidak memuaskan pembaca–yang jadi penonton–karena dianggap merusak imajinasi, kita justru akan membahas apa asyiknya alih wahana sebagai kemungkinan lain dalam berkarya.