12 November 2023
“He! Ngadoho, iku wes garis polisi, cuk!”
“Kok isok onok rongko kependem nang ngarepe gadri, se?”
“Ojok rame ae, Koen! Engkuk nek mbegidak, bengine ditekani!”
Kau melesat ke arah berisiknya kerumunan itu dalam hitungan detik. Lalu, bola matamu membulat besar dan memerah. Jemari tanganmu mengepal kaku di sisi tubuhmu yang ramping. Tiba-tiba, kau terduduk lunglai di tanah. Matamu memejam rapat. Teriakan nyaring keluar dari bibirmu yang pucat. Namun, tak ada satupun manusia di kerumunan itu mendengar dan mempedulikanmu. Kau pun tak pernah terlihat serapuh itu. Aku ingin memelukmu segera. Membuatmu lesap kembali pada keheningan semesta.
Rumah kuno dengan perpaduan arsitektur bergaya Cina dan Eropa itu terlihat semakin suram dengan rentangan garis polisi berwarna kuning-hitam. Garis larangan melintas itu dipasang memanjang dari utara ke selatan persis sepanjang jaro hingga gapura halaman depan. Hanya warna kuning-hitam itu yang terlihat mencolok, selebihnya, cat merah koral yang melapisi seluruh daun pintu dan jendela kayu telah memudar dimakan usia. Warna merah coral yang dulunya cemerlang membuat rumah antik itu dijuluki sebagai Rumah Merah sejak ia didirikan. Cat putih yang mendominasi seluruh dinding bangunan juga telah menghitam bercampur noda debu di sana-sini. Jaro besi yang dulunya berwarna tembaga kini lebih serupa dengan warna karat.
“Temuan kerangka manusia di halaman Rumah Merah di wilayah Kemasan ini tengah menjadi perbincangan warga setempat. Terlihat lokasi telah diamankan oleh polisi. Selain itu set perhiasan emas yang diperkirakan oleh ahli berasal dari abad ke-15 tersemat utuh di kerangka. Temuan perhiasan tersebut akan diteliti lebih lanjut,” laporan salah satu jurnalis memberikan reportase singkat di tengah teriknya hari yang mengejutkan itu. Sedangkan beberapa jurnalis lainnya terlihat sibuk menjalankan tugas masing-masing. Mengambil foto, melakukan reportase, melakukan wawancara, dan mencatat fakta dari peristiwa yang bagi mereka sangat spektakuler. Ya, bagi mereka, tapi tidak bagimu.
Sejenak kemudian kulihat kau menoleh ke arah Fatimah Eng Cu. Keturunan asli dari pemilik Rumah Merah dan satu-satunya yang tersisa tanpa kerabat dan sanak saudara. Baru sebulan yang lalu ia ditinggal mati oleh neneknya. Perempuan berkulit langsat itu terlihat sesekali mengusap peluh di dahinya. Tatapannya terpaku ke arah kerangka yang masih ada di halaman rumahnya.
“Pak, kapan kerangka itu akan dipindahkan?” tanya Fatimah pada tukang yang ada di dekatnya.
“Ndak tau, Bu. Nanti coba saya tanyakan ke petugas. Mereka masih sibuk, Saya takut mengganggu,” jawab tukang itu sambil membungkuk berlalu pergi.
1443
Hari ini adalah hari pertama kau melihat dunia. Hari yang membuatmu menjadi anak terkutuk, setidaknya untuk bapakmu, keluarga besar bapakmu, dan keluarga besar ibumu. Bapakmu bilang, “Gusti mengambil istriku sebagai kolo untuk kelahiranmu bahkan sebelum ia sempat melihatmu, Nduk.”
Kau lahir sejak kampung ini dinamai Kelingan oleh Nyonya Salamah. Namun, kau sendiri hanya dipanggil dengan sebutan Nduk oleh bapakmu karena bapakmu dan seluruh keluargamu tak pernah mau memberimu nama. Jadi, pada waktu yang sama dengan hari lahirmu, Nyonya Juragan, demikian bapakmu memanggilnya, mendapatkan peti bayi yang indah berisi bayi laki-laki. Peti itu didapat Nyai Juragan Salamah dari seorang nahkoda yang menemukannya di tengah laut. Konon kata bapakmu pula, salah satu orang kepercayaan Nyonya Juragan, peti bayi itu memiliki kunci peti yang dibuat dari besi keling. Dari situlah nama kampungmu menjadi: Kelingan.
Peristiwa penemuan bayi itu sungguh riang dan bingar, kontras dengan kisahmu yang disambut oleh petaka dan kesunyian. Sungguh, bahkan hari-hari selanjutnya bapakmu lebih sibuk berada di rumah Nyai Salamah untuk mengikuti rewangan karena kamu sudah menjadi anak asuh bulek, adik ibumu yang datang dari Tirtoarum, tempat yang sangat jauh di ujung timur pulau Jawa. Perempuan itu sengaja diminta datang ke rumah bapakmu untuk mengurus kebutuhan dasarnya sebagai laki-laki dan menjadi ibu sambungmu.
Kemudian kau tumbuh besar sebagai perempuan pesisir yang menarik. Warna kulit sawo matang melekat di tubuhmu. Kau lebih suka menggerai bebas rambut ikalmu. “Isun sengaja membiarkannya tergerai. Dengan begitu isun bisa segera merasakan saat-saat riko hadir. Rambut ini akan bergerak lembut, selembut riko meniupnya,” Begitulah katamu kepadaku dengan menyunggingkan senyum di sudut bibir tipismu.
“Sering-seringlah datang untuk menemani isun, karena selain riko hanya ada suara-suara ikan sekarat yang ditangkap nelayan. Tentu isun tak bisa bicara dengan ikan sekarat, kan?” ucapmu.
1458
“Bagaimana ini? Hari-hari kebebasan isun akan direnggut!” Kau berjalan mondar-mandir mencariku di bibir pantai Lumpur. Kegelisahan telah membuatmu berjalan dari Keling ke Lumpur tanpa alas kaki. Padahal tak pernah sekalipun kau melangkah tanpa alas kaki. Kau pernah bilang ada sekawanan semut yang siap mengejar dan menggigit kakimu jika kau tidak memakai alas kaki.
“Daripada di Keling, suara riko terdengar lebih jelas di pantai Lumpur. Tapi sebentar lagi isun tak bisa sering-sering datang ke sini!”
Tepat seminggu saat kau hendak menjalani pingitan, tak hanya dirimu, Kampung Kelingan juga sedang mengalami perubahan besar. Nyai dimandat oleh Brawijaya V untuk menjadi syahbandar. Dan sejak saat itu Nyai memindahkan pusat pelabuhan dari Bandaran ke Kelingan. Ah, betapa Kelingan menjadi wilayah yang terlihat makin sibuk. Bahkan Nyai, syahbandar wanita paling berpengaruh itu membangun tempat untuk membuat kapal dan blandongan untuk memenuhi kebutuhan pelabuhan yang semakin besar.
“Perubahan besar yang dilakukan Nyai membuat hati isun semakin terusik! Kiprah Nyai sebagai perempuan penting dalam dunia yang didominasi oleh laki-laki telah membuat isun iri. Isun ingin menjadi seperti Nyai!” kau bercerita dengan nada tinggi berapi-api.
“Riko mau menjadi syahbandar juga?” tanyaku penasaran.
“Mana bisa? Keinginan isun tak semewah itu! Namun setidaknya isun mau menjadi perempuan yang memegang kendali atas hidup isun sendiri. Menjadi sosok yang dihormati dan dipercaya banyak orang!” lanjutmu mengernyitkan dahi.
Kau tak menyadari bahwa suara tinggimu membangunkan bapakmu. Suara langkah kaki bapakmu terdengar mendekati kamarmu. “Bapak hanya bisa bersyukur. Siro akan dinikahi secara resmi oleh saudagar kenalan Nyai Salamah. Itu sudah sangat bagus. Daripada siro setiap malam hanya ngomong sendiri menghadap dinding kamar ibumu seperti ini.”
“Tapi, Pak …, Ndiko tahu dia sudah beristri, kan?” kau mencoba berdialog dengan bapakmu. Sesuatu yang tidak pernah kau lakukan.
“Menjadi yang kesekian itu tidak masalah, Nduk, daripada siro hanya mondar-mandir di pesisir Lumpur setiap hari!”
“Bapak! Ndiko tidak pernah bertanya kenapa isun sering ke Lumpur. Ndiko juga tak pernah menanyakan apapun yang isun alami setiap hari saat Ndiko membiarkan isun sendirian di rumah. Yang Ndiko pedulikan hanya bulek!” Untuk perma kali tampak kau membelalakkan mata di depan wajah bapakmu.
Plak …. Plak ….
Dua kali. Bapakmu menamparmu sebanyak dua kali. Pipi kirimu memerah. Selanjutnya hanya ada suara tikus terdengar berisik mengawali keheningan yang panjang di akhir malam.
Kau pernah bilang, bagimu Lumpur adalah tempat yang paling aman. Lumpur membuatmu mengerti bagaimana rasanya mempunyai teman. Selain itu Lumpur membuatmu takjub akan hamparan ribuan bakau yang menjadi rumah bagi ribuan bangau. Suatu senja, saat kau enggan beranjak dari pantai, kau berkata, “Lumpur sangat indah. Ada riko di sini. Ada pula laut yang luas dan dalam. Jika mereka masih mengejar isun, maka isun akan sembunyi ke dalam laut. Ada riko di sini, isun aman.”
Waktu pingitan telah usai. Di tahun inilah kehormatan yang selama ini berhasil kau pertahankan telah menyelamatkan harga dirimu sebagai perempuan di malam pertama pernikahanmu. Namun, sosok perempuan yang selama ini berusaha melemparmu kepada serigala-serigala asing justru berada semakin dekat.
“Riko lihat? Nyi Sepuh ternyata adalah istri pertama suamiku! Lihat! Dia mendekat! Dia yang selalu mencoba menculikku saat bapak dan bulek tidak ada di rumah,” tubuhmu tampak gemetar menghadapi perempuan paruh baya itu.
“Nyi Anom! Kau sakit?” perempuan bermata sipit nan cantik dengan rambut lurus diikat sederhana itu menyentuh pundakmu.
“Ti … tidak! Ndiko jangan menyentuh isun. Jangan sakiti isun! Jangan jual isun!” Kau terbata-bata menjawabnya.
“Nyi Sepuh! Mulai saat ini jangan sentuh dia! Dia satu-satunya yang tak boleh menemani tamu-tamu kita,” suamimu menghardik perempuan peranakan itu.
Hari-hari selanjutnya kau lebih memilih untuk berada semakin dekat dengan suamimu dan menjadikannya perisai perlindungan. Pun perlahan kau mulai mengabaikan kehadiranku, angin gisik yang lembut yang membelai rambutmu. Hingga pada suatu waktu kau benar-benar tampak bahagia bersama suami yang sangat menyayangi dan memanjakanmu. Ya, karena hanya kau satu-satunya yang tahu di mana ikan-ikan sedang berkumpul untuk ditangkap. Tentu saja hal itu membuat Nyi Sepuh hatinya meradang.
1477
Pada suatu malam aku melihat bapakmu datang membawa dua kabar. Kabar besar itulah yang mengubah hidupmu selamanya. “Nduk, kapal yang seharusnya membawa suamimu pulang terbalik di tengah lautan.”
Bapakmu bilang, salah satu kapal dagang milik Nyai Ageng Pinatih yang berisi ikan-ikan yang akan dikirim ke Majapahit karam. Kabar selanjutnya, Nyai Ageng yang juga sedang sakit keras. Kabar itu membuatmu mulai mencari-cari kehadiranku lagi. Kau dekatkan telingamu ke dinding-dinding kamar.
“Riko tahu, kabar pertama membuat isun merasa menjadi harimau yang kehilangan gigi dan taringnya. Kabar kedua membuat isun menyadari bahwa ada masa-masa di mana waktu dapat merangkul maut dan menjadi akhir bagi jayanya sebuah kehidupan.”bisikmu kepadaku.
“Isun harus berhias dan tidur. Isun akan memakai baju dan perhiasan yang isun pakai di hari pernikahan dan menunggu suami isun pulang.”kau bergumam sambil berhias dan berias diri.
“Suami isun telah meninggalkan wasiat. Isun pasti aman.”
Kau memeluk erat kotak kayu pemberian suamimu dan beranjak ke pembaringan. Dan tanpa kau sadari, malam itu menjadi awal dari malam-malam dingin yang tak berujung. Nyi Sepuh mencabik hidupmu, mengambil kotak yang kau peluk, dan merenggut semua hakmu sebagai Nyi Anom. Namun, justru karenanya kau menjadi sewujud denganku. Kau menjadi bagian dari angin gisik.
Rumah yang kutinggali sebagai Nyi Anom segera berganti wajah. Nyi Sepuh merombak semuanya dan membangun ulang dengan sama sekali menghilangkan sentuhan khas dari suamimu. Sentuhan-sentuhan arsitektur bergaya Cina ditambahkan. Cat merah koral menjadi warna dominan yang menyala.
2023 (beberapa bulan sebelum penemuan kerangka di Rumah Merah)
“Lihat! Fatimah Eng Cu menemukan foto-foto lama dan surat-surat penting yang tersimpan di kotak tua. Kotak yang selama ini isun cari!” kau nyaris melompat kegirangan.
Ya, kotak kayu jati berukuran 10×10 cm itu terlihat masih kokoh, tapi surat yang tersimpan di dalamnya sangat rapuh dan nyaris tak terbaca tulisannya. Kau menghampiri Fatimah.
“Kemarilah! Lihat, foto-foto itu membuat isun mengenang kembali laki-laki yang ternyata sangat memahami isun dan sekaligus mampu membuat isun merasa menjadi wanita yang sangat dicintai,” kau memanggilku agar segera mendekat dan menunjuk wajah suamimu dengan telunjuk runcingmu.
“Percuma,” jawabku.
“Bukankah cinta tidak selalu mendatangkan bahagia. Bahkan bagi riko, cinta juga mampu merenggut matahari dan menjadikan dunia riko gelap seketika, kan? Riko tak menyesal?” tanyaku tak bersambut jawab.
Di antara tumpukan surat dan foto itu, Fatimah menemukan secarik kertas yang selama ini kau cari-cari. Kertas berisi surat wasiat dari suamimu. Kertas yang seharusnya bisa membuatmu mampu menjaga kehidupanmu sendiri. Fatimah membacanya dengan suara terbata. Ia tampak kesulitan memahami maksud dari tulisan kuno itu. Bahkan ia hanya mengerti bahasa Indonesia, sedangkan baginya surat itu berisi bahasa kuno yang rumit.
“Hanya isun yang bisa membacanya. Namun, sekalipun Fatimah tidak tahu isi surat itu, ia telah melihat foto isun dan surat wasiat yang tersimpan rapi di dalam kotak itu. Semoga tak ada sesuatu peristiwa yang membuatnya perlu berkhianat atau berdusta,” kau berbisik lirih kepadaku.
Ya, jika pada akhirnya Fatimah Eng Cu berkhianat atau berdusta, itu akan menjadi awal dari akhir hidupnya nanti. Artinya, seluruh generasi Rumah Merah akan habis tuntas. Betapa seperti seluruh pendahulunya, pengkhianatan dan dusta adalah pintu masuk dari segala petaka yang akan menimpa. Bukankah sumpah serapah memang sekuat doa yang dimeterai dengan darah kekecewaan? Semua akan digenapi.
1965
Keling mengalami banyak sekali perubahan. Kau melihat Fatimah Eng Cu meringkuk dalam gendongan neneknya. Saat itu adalah upacara hari ketujuh meninggalnya Ibu Fatimah yang menjadi korban penumpasan partai terlarang, penghianat negara.”
Apakah mungkin kutuk itu masih bekerja, Eng?” Wanita sepuh itu bergumam di telinga cucunya sambil memandangi kotak kayu berukuran 10×10 cm itu. Ibumu hendak menjual rumah ini dan mendanai pergerakan. Di mana kita akan tinggal jika itu benar-benar terjadi.
“Haruskah dendam masa lalu dibayar oleh orang yang sama sekali tidak mengenal isun secara langsung?” tanyamu.
“Banyak hal yang telah berubah. Namun, justru perubahan yang dinamis itu mampu membuat isun melupakan kepedihan masa lalu. Namun, mengapa serapah isun masih mengikat keluarga ini?”
“Darah riko tertanam di sini. Riko ingat apa yang riko ucapkan saat malam terakhir itu?” tanyaku menjawab pertanyaanmu.
“Rumah ini akan menjadi rumah darah untuk seluruh keturunan Nyi Sepuh, Siapapun yang memegang dan membuka kotak itu tapi berdusta tentang keberadaanya dan menghianati isi wasiat maka serapah ini akan digenapi.”
Rumah besar yang dulu menjadi tempat Nyi Sepuh melenyapkanmu memang telah mengalami beberapa kali pembangunan ulang oleh keturunannya. Pada tahun 1800an Rumah Merah itu dirombak total menjadi rumah bergaya kolonial namun tetap memiliki sentuhan arsitektur cina. Bedanya, warna merah koral hanya diaplikasikan pada daun pintu, gapura, dan jendela rumah dan tidak ada perombakan halaman teras. Namun aku yakin apapun perubahan yang terjadi, memori pedihmu akan terus menghantui.
13 November 2023
Beberapa orang berbadan tegap dan berseragam cokelat terlihat keluar masuk di Rumah Merah. Sudah dua hari rumah itu terlihat sibuk. Salah satu petugas polisi tampak menghampiri kerangka sembari membawa peti kuno dan mengamati foto-foto yang ada di dalamnya. Ia terlihat sedang memastikan sesuatu dan terkejut. Polisi itu mengidentifikasi sosok di dalam foto dan menduganya sebagai sosok yang sama dengan kerangka temuan itu.
“Perhiasan yang sama, baju dengan motif yang sama. Apakah kotak ini milik keluarga Anda?” Polisi itu segera memanggil Fatimah Eng Cu yang duduk di ruang tamu dan menginterogasinya.
“Bukan. Saya tidak tahu apa-apa tentang kotak itu.”
“Apakah Anda pernah melihat foto ini sebelumnya?” polisi itu melanjutkan.
“Tidak,” jawab Fatimah Eng Cu.
“Tukang yang saya minta untuk memugar bangunan ini yang menemukannya. Saya tidak tahu siapa kerangka itu dan mengapa ia ada disana.”
Aktif sebagai life coach di kesehariannya, ia pun terlibat dalam susunan kepengurusan komunitas Perempuan Penulis Padma sejak 2021. Beberapa cerpennya telah dimuat dalam beberapa buku terbitan Padmedia Publisher berupa antologi fiksi bersama teman-teman komunitasnya. Tentang penulis bisa diakses di IG: @dewipurboratih_cht
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.