Beranda » Aroma Laut yang Memudar – Akhmad Idris

Aroma Laut yang Memudar – Akhmad Idris

***

“Mengapa kok harus jualan bandeng, Bu?”

“Loh mengapa kok tiba-tiba bertanya seperti itu, Nak?”

“Sari juga ingin seperti teman-teman yang lain.”

Bulir-bulir bening jatuh dari dua sudut mata Sari, lalu Ibunya menghampiri sembari mengelus halus rambut kepala Sari.

“Ini warisan Nenek, Nak. Turun-temurun.”

Debur ombak terdengar sunyi, sementara bulir-bulir bening Sari tak kunjung berhenti.

***

Bau amis khas wilayah pesisir sulit tercium karena kalah dengan aroma limbah industri, membuat Bu Tini dan keluarga kian terasa asing dengan hal yang mereka panggil pesisir. Kemudahan hidup seperti saat ini tak lebih dari ketimpangan yang berkepanjangan bagi Bu Tini dan keluarganya. Bu Tini memang kini menggoreng bandeng dengan kompor, tetapi pemasukan jauh lebih banyak didapat kala menggunakan tungku. Tetangga-tetangga desa sebelah yang merantau ke kota sebelah kerap bercerita tentang rumah-rumah baru yang mewah, kendaraan-kendaraan baru yang istimewa, dan pundi-pundi rupiah yang berlimpah. Bu Tini dan suaminya hanya tersenyum pasrah mendengar cerita-cerita itu, meski ada yang memberontak di dalam hati mereka berdua.

“Tadi Sari menangis,” ucap Bu Tini pada suaminya.

“Nanti juga lupa-lupa sendiri,” jawab suaminya.

“Semoga tangkapan ikan hari ini menggembirakan.”

“Jangan terlalu diharapkan.”

“Sampai kapan terus seperti ini?”

Tak ada jawaban dari suami Bu Tini, lalu tiba-tiba Bu Tini menahan napas selama beberapa detik.

“Apa tidak sebaiknya …….,” ucap Bu Tini dengan ragu-ragu.

“Bapakku seorang nelayan, Kakekku seorang nelayan, maka engkau seharusnya tahu kalimat selanjutnya,” sahut suaminya.

“Jika ikan tak bisa lagi diharapkan, masih layakkah profesi nelayan dipertahankan?”

“Lalu mau jadi apa? Buruh pabrik? Menjilat ludah sendiri? Lantang mengutuk mereka yang menghilangkan laut dari bayang-bayang kita, tapi berharap rezeki dari kantung-kantung baju mereka?”

Percakapan kembali terhenti dengan pertanyaan yang masih menggantung di langit-langit seng. Bulan-bulan ini seharusnya musim hujan sudah menyapa, namun panas terik musim kemarau seolah enggan mereda, membuat semuanya terasa semakin panas. Bu Tini memilih untuk membiarkan pertanyaan suaminya mengendap, lalu terlupakan begitu saja. Bu Tini melangkah tergesa ke belakang, menatap pesisir yang menjelma tanah haram yang tak lagi digemari oleh ikan-ikan. Bunyi ngeong Bima membuyarkan lamunan Bu Tini yang tiba-tiba datang menggesek-gesekkan tubuhnya ke kaki Bu Tini.

“Makanan Bima dan yang lain sudah hampir habis, Bu,” ucap Sari yang tiba-tiba datang menyusul Bima.

“Diberi makanan yang ada saja ya, Nak,” tawar Bu Tini.

“Ya tidak akan mau, Bu. Mereka sudah terbiasa dengan makanan kemasan.”

Lagi-lagi Bu Tini menanggapi jawaban putrinya dengan kesunyian. Belum terjawab pertanyaan dari suaminya, tiba-tiba menyusul keluhan dari putrinya. Bu Tini tiba-tiba ingin berteriak dengan sangat lantang, bagaimana bisa kemiskinan begitu terasa sangat menyakitkan seperti ini?

***

Matahari masih bersembunyi malu sebelum menampakkan diri, namun Bu Tini sudah bergegas menuju rumah tetangga di sebelahnya, Sigit. Tampak istri Sigit sedang duduk santai melihat suaminya memeriksa jala.

“Pagi, Bu Sigit. Hari ini mau pesen bandeng keropok berapa?” Tanya Bu Tini.

“Loh, Bu. Kok langsung ditanya pesen berapa, kan saya belum bilang mau atau tidak,” jawab istri Sigit agak protes.

“Ini bandengnya mumpung bagus-bagus, Bu. Sayang kalau tidak pesan.”

“Bandengnya dari Mengare kan, Bu?”

“Pasti, Bu. Kalau tidak dari Mengare, saya tidak mau ambil.”

“Ya sudah, saya pesan satu porsi kalau begitu.”

“Langsung saya buatkan, Bu. Kalau boleh, bisakah saya minta uangnya terlebih dulu, Bu?”

“Waduh, sudah menawarkan dengan memaksa, sekarang minta dibayar lebih dulu.”

“Saya mohon, Bu Sigit. Mohon dibantu.”

Tepat sebelum istri Sigit mengeluarkan kalimat susulan, Sigit muncul dengan memberi lembaran rupiah pada Bu Tini sembari meminta maaf. Kalimat terima kasih terus diulang-ulang oleh Bu Tini sambil berkali-kali menganggukkan kepala tulus. Setelah dari rumah Sigit, Bu Tini melanjutkan penawaran ke rumah-rumah yang lain⸻berharap mendapat banyak pesanan. Sesuai perkiraan, harapan tidak sesuai dengan kenyataan.

Bu Tini kembali ke rumah dengan langkah pelan, lupa bahwa harus segera mengambil bandeng di Gadukan. Pertanyaan suaminya lah yang membuat Bu Tini ingat harus segera pergi ke Gadukan. Perjalanan Bu Tini dari rumah ke Gadukan beberapa kali salah jalan, padahal seharusnya menjadi rute yang bisa dilewati dengan memejamkan mata. Sesampai di Gadukan, Bu Tini tidak banyak bicara dengan pengepul ikan bandeng langganannya. Bu Tini segera memberikan uang dan ingin buru-buru pamit. Saat Bu Tini membalikkan badan untuk kembali pulang, pengepul ikan memanggilnya.

“Bu Tini, bandengnya lupa dibawa,” ucap pengepul ikan.

“Ya Allah, maaf maaf, saya kurang fokus. Terima kasih,” ungkap Bu Tini sambil berbalik untuk mengambil bandeng yang terlupa.

Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran Bu Tini hari ini. Saat perjalanan pulang pun, Bu Tini kembali berputar-putar di tempat yang sama sebelum bertemu dengan putrinya yang langsung menuntun ke rute yang benar. 

“Ibu dari mana saja? Kok tidak segera pulang?” tanya Sari ke Ibunya.

“Tidak dari mana-mana, Nak. Hanya dari Gadukan,” jawab Bu Tini.

Tak lama setelahnya, Sari segera menyiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan untuk membuat bandeng keropok. Bu Tini tidak banyak berbicara kecuali setuju dan menolak, sedangkan sisanya adalah kesibukan Bu Tini menyelesaikan pesanan bandeng keropok milik Bu Sigit. Sari hanya sekadar menemani sembari menunggu instruksi, namun kali ini tidak seperti biasanya. Tak ada instruksi satu pun dari lisan Bu Tini, bahkan bandeng keropok kali ini diselesaikan lebih cepat dari biasanya. Sari pun merasa janggal, hingga akhirnya bertanya pada Ibunya.

“Bu, apa petisnya tidak terlalu sedikit?” tanya Sari.

“Sudah cukup, Nak. Ini ada sedikit uang. Kamu belikan makanan untuk Bima dan yang lain sana,” jawab Bu Tini yang teringat dengan beberapa ekor kucing yang ia pelihara.

Sari pergi membeli makanan kucing dengan mata berbinar, melupakan kejanggalan perilaku Ibunya. Mengetahui Sari sudah pergi membeli makanan kucing, Bu Tini menyiapkan bandeng keropok pesanan Bu Sigit di sebuah rantang, lalu mengantarnya sendiri. 

“Siang, Bu Sigit. Ini bandeng pesanannya,” sapa Bu Tini sambil menyerahkan rantang.

“Terima kasih, Bu. Oh iya, mohon maaf tentang ucapan saya tadi pagi ya, Bu. Maklum, belum sarapan, mudah tersinggung,” ungkap istri Sigit sedikit canggung.

“Sama-sama, Bu Sigit. Saya yang mohon maaf seharusnya atas kelancangan saya.”

“Lega jadinya, Bu. Jadi nggak sabar untuk mencicipi bandeng Bu Tini yang terkenal lezat di kampung ini.”

“Bu Sigit bisa saja. Saya pamit dulu ya, Bu. Banyak kerjaan,” pungkas Bu Tini disertai ucapan salam.

Bu Tini kembali ke rumah, menunaikan ibadah, lalu berdoa dan berharap ada keajaiban untuk hari ini: setidaknya untuk makan dua hari ke depan ada jaminan. Tepat saat senja menjelang malam, keajaiban itu memang terjadi. Keajaiban yang justru tak pernah diharapkan maupun terbayangkan oleh Bu Tini.

***

“Maksudnya apa ini, Bu?” tanya istri Sigit tanpa pembuka.

“Apa bagaimana, Bu? Saya tidak paham,” jawab Bu Tini kebingungan.

“Kualitas bandeng Bu Tini mengapa jadi seperti ini? Bumbu petisnya tidak terasa, hingga rasanya seperti bandeng yang ditaburi sambal kecap dengan sedikit petis gitu saja. Mau mencari untung sebanyak-banyaknya ya, Bu? Pantas tadi minta uangnya lebih dulu? Pokoknya segera kembalikan uang saya tadi!” jelas istri Sigit panjang lebar.

Bu Tini hanya bisa menangis, kali ini tak ada lagi yang ingin disembunyikan.

“Uangnya sudah habis, Bu. Hanya sisa sedikit untuk esok hari. Mohon maaf, Bu,” jawab Bu Tini menahan isak.

“Saya tidak mau tahu, Bu. Jika tidak dikembalikan, Saya akan menyebarkan kejadian ini ke semua penduduk di kampung ini,” ancam istri Sigit.

“Saya pasti mengembalikannya, Bu. Tapi tidak sekarang.”

Percakapan berakhir begitu saja, namun esok hari berita itu tetap tersebar dengan cepat dan menyeluruh. Bu Tini hanya bisa pasrah dan berserah, samar-samar membayangkan penawaran beberapa hari yang lalu sebelum Sari menangis pilu.

“Ibu kenal Bu Purwati?” tanya Sari.

“Itu Ibunya Fajar kan? Fajar temanmu sekolah?” tanya balik Bu Tini.

“Iya, Bu. Tadi Fajar cerita kalau Ibunya ingin mencari teman untuk ikut dengannya bekerja di kota sebelah. Gajinya besar, Bu.”

“Ibu lebih suka membuat bandeng keropok, Nak.”

Huh, Ya kita akan terus miskin.”

Percakapan selesai dengan singkat sekaligus lekat.

***

Di suatu pagi yang cerah, dengan hati yang lelah, Bu Tini memandang suaminya sedang memperbaiki jalanya yang sudah rusak sana-sini, semantara suaminya memandang Bu Tini yang sedang menggoreng beberapa ekor bandeng dengan kompor yang hampir mati karena kehabisan gas elpiji.

Dari Surabaya Membayangkan Pesisir Gresik, 24 November 2023

 Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya dan STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya. Karya solonya, yakni kumpulan esai Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia (2020), Permainan Metafora dalam Karya Sastra (2022), Esai-Esai Ringan tentang Keislaman (2022), Candirejo dan Variasi Literasi (2022), Teruntuk Kamu yang Kusebut Perempuan (2023), Cinta dan Pala (2023), Cerita-Cerita tentang Kesalahan Berbahasa (2023).

 

Gang Sebelah

Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas