Beranda » Kamar Terlarang – Tannia Margaret

Kamar Terlarang – Tannia Margaret

 

Rumah tua itu masih berdiri tegak meski catnya telah mengelupas di sana-sini. Pagar putih yang berujung lancip bercorak karat membuka sedikit, mempersilakan siapa pun untuk masuk. Hanya papan nama bertuliskan Gelukkig Hotel saja yang terlihat baru. Mei Lin berdiri di seberang rumah, menghalangi toko plastik di belakangnya. Napasnya tersengal-sengal, bukan karena kelelahan berjalan kaki dan membawa dua tas yang cukup berat. Namun karena akhirnya ia berhasil menemukan rumah itu, tanpa bantuan siapa pun. Rumah yang bahkan Papa saja tak bisa temukan. Mei Lin mengatur napas beberapa kali sebelum memberanikan diri menyeberang dan masuk.

Ia mengintip ke sebuah pos kecil dari kayu yang sepertinya berfungsi sebagai meja resepsionis, tapi tidak ada siapa-siapa. Mei Lin melongok ke dalam rumah, terdapat tiga kamar di masing-masing sisi. Kelima pintu kamar terbuka, sementara pintu kamar paling depan di sisi  kanan tertutup rapat dan digembok. Sebuah foto hitam putih sepasang lelaki dan perempuan muda tergantung di sebelahnya. Wajah si lelaki yang memiliki sedikit darah Tionghoa tampak familiar. Lama Mei Lin memerhatikan foto itu, hingga dikejutkan oleh suara seseorang di belakangnya.

Goleki sopo, Mbak?” Seorang ibu tua setinggi bahu Mei Lin menatap bingung ke arahnya. Ia mengenakan daster batik berwarna biru tua, membawa sapu serta pengki plastik.

“Selamat sore, Ibu. Saya Mei Lin, wartawan. Saya ingin menulis soal rumah ini untuk majalah sejarah. Boleh, Bu? Rencananya saya ingin menginap dua malam.” Mei Lin menepi, meletakkan tasnya, lalu mengulurkan tangan menyalami si ibu. 

Oh, oleh, oleh. Sek yo.” Ibu itu melangkah mantap ke

belakang rumah, irama kepakan sandalnya teratur. Samar-samar Mei Lin bisa menangkap dua suara lain. Laki-laki. Tak lama, salah seorang dari mereka keluar. Seorang pria seusia Mei Lin dalam balutan kaus dan celana selutut menghampirinya di teras. Rambut ikalnya yang tak disisir membingkai wajah oval yang ramah.

“Wah, ada tamu baru. Akhirnya saya ada teman.” Senyumnya sumringah, ia menyalami Mei Lin dan memperkenalkan diri sebagai Andra. “Saya baru sampai kemarin. Akan menginap sampai dua hari ke depan. Ada yang mau saya kerjakan soalnya.” Mereka berbasa-basi singkat, atau lebih tepatnya ia mewawancarai Mei Lin. Ternyata Andra juga seorang wartawan, walau tujuannya ke rumah tua itu tidak terkait pekerjaan. 

“Saya sebenarnya wartawan kriminal, Mbak.” Andra berpindah kursi, agar bisa melihat ke arah pintu masuk. Ia membungkuk sedikit dan memelankan suara. “Tapi saya ke sini karena urusan pribadi. Mbak tahu kamar yang ini? Yang digembok ini?” Mei Lin mulai merasakan bulu kuduknya meremang. Ia menelan ludah, tidak suka pembicaraan ini, tapi rasa penasaran mencegahnya menghentikan Andra. “Kamar ini tidak disewakan lagi. Tidak ada yang boleh masuk ke kamar itu karena terjadi kasus ….”

Mbak, mau pengen nginep pirang dino nang kene?” Si ibu tahu-tahu muncul, kemudian masuk ke pos resepsionis itu. Ia mengeluarkan buku tamu, buku nota, dan pulpen. Mei Lin hampir saja meneriaki si ibu karena memotong cerita Andra. Kini ia jadi semakin ingin tahu. Mei Lin bergegas menyelesaikan urusan dengan ibu pemilik rumah yang bernama Suminah, lalu diantar ke kamarnya yang tepat bersebelahan dengan kamar yang tadi Andra ceritakan. “Mbak, nek ono perlu opo-opo, celukan aku ae yo. Banyu karo teh ono nang mejo mangan. Jeding karo kakus ono nang mburi.”

Mei Lin mengangguk singkat dan mengucapkan terima kasih, lalu mengunci pintu setelah Bu Suminah keluar. Ia menghabiskan waktu beberapa menit mengamati kamarnya. Ranjangnya masih menggunakan rangka besi, modelnya mirip ranjang rumah sakit pada zaman perang dunia. Langit-langitnya yang mengelupas terbuat dari kayu berlapis cat minyak warna hijau lumut, lantai teraso berwarna merah yang kotor oleh debu semakin meredam lampu yang remang. Mei Lin perlahan merebahkan diri di ranjang. Ia merogoh-rogoh isi tas dan mengeluarkan buku catatan kecil lusuh bersampul kulit milik Papa. Kertas-kertasnya mencuat karena terlepas, tapi tak selembar pun hilang karena Papa membungkusnya baik-baik dengan kain. Di sinilah tertulis alasan sekaligus petunjuk kenapa Mei Lin memberanikan diri datang dan menginap di tempat seperti ini. 

“Amei, kamu mungkin sudah bosan mendengar cerita Papa tentang Nyai Ageng Pinatih, leluhur keluarga kita, bahkan mungkin menganggap Papa berbohong. Kalau bukan karena terpaksa, Papa juga tidak ingin membebani kamu. Tapi kamu satu-satunya harapan Papa. Papa yakin kamu secerdas dan sehebat Nyai. Hanya satu kali ini saja Papa memohon pada kamu dengan sangat. Tolong temukan harta rahasia Nyai dan simpan harta itu baik-baik, sebelum ditemukan oleh keturunan saudara-saudara Nyai yang culas. Maaf Papa tidak bisa memberitahu siapa mereka, karena Papa juga tidak tahu identitas mereka. Karena itu kamu harus sangat berhati-hati.”

Sebelum mendatangi rumah ini, Mei Lin sudah berkeliling ke daerah sekitar pelabuhan dan kota lama, termasuk ke kompleks makam Nyai Ageng Pinatih. Ia berusaha mencari tahu kebenaran hal-hal yang tertulis di dalam buku catatan Papa. Namun tak seorang pun tahu, termasuk juru kunci makam. Malah cerita-cerita tentang Nyai semakin kabur oleh berbagai mitos. Mei Lin tidak tahu harus memercayai yang mana. 

Memangnya selembar surat yang dikirim Nyai pada ayahnya bisa menjadi bukti kuat? Ia hidup lebih dari lima abad yang lalu. Dalam kurun waktu selama itu, siapa saja bisa mendistorsi bukti dan cerita, termasuk soal harta tersembunyi milik Nyai. Bisa saja cerita itu dikarang oleh pemilik rumah ini agar orang-orang jadi penasaran dan menginap ke tempat ini untuk mencari tahu.

Harta itu, kata Papa, sebagian dibawa oleh Nyai dari Palembang, tempat asal keluarganya. Ayahnya diutus ke sana mengurus urusan keagamaan dan kenegaraan oleh kerajaan Majapahit setelah Sriwijaya runtuh. Sewaktu ayahnya jatuh sakit, jabatan penting itu diambil paksa oleh saudara laki-laki Nyai, sehingga Nyai pun pindah hingga ke Gresik. Sejak kecil ia memang sudah sering mengikuti ayahnya, lalu setelah tiba di kota itu, Nyai memperdalam ilmu agama dan berdagangnya dengan belajar dari Sunan Ampel dan Sunan Gresik. Kepintarannya membuat Nyai dilantik oleh kerajaan Majapahit menjadi syahbandar kota itu. Sebagian lain dari harta itu, merupakan kekayaan yang diperoleh Nyai selama menjadi syahbandar. 

Papa tidak bisa memastikan berapa banyak harta itu, juga lokasi harta itu dikubur. Mei Lin-lah yang berhasil menemukan. Setelah bertanya ke banyak ahli dan membaca di perpustakaan, ia menyimpulkan harta Nyai ada di bawah rumah ini. Sekarang, bagaimana ia bisa membuktikannya? Bagaimana ia bisa menemukan jalan masuk dan memastikan keberadaan harta itu tanpa dicurigai? Bisa gawat kalau rumor ini sampai menyebar. Orang-orang akan menggila, dan siapa tahu rumor itu akan sampai ke telinga keturunan saudara Nyai. Sial, bahkan Andra bisa saja salah satunya. 

Nama lelaki itu membuatnya terpikirkan sesuatu. Jangan-jangan rumor soal kamar yang tak boleh dimasuki itu juga disengaja. Bagaimana jika di kamar itu ada jalan tersembunyi menuju harta Nyai? Jantung Mei Lin kini berdebar, tidak ingin melewatkan kemungkinan ini. Nanti malam, saat semua orang sudah tidur, ia akan mencoba mencari tahu. 

Mei Lin memasang telinga baik-baik. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak ada lagi kelepak sandal atau pun bisik-bisik. Ia mengendap keluar, membawa beberapa alat untuk membuka gembok. Mei Lin terkejut mendapati gembok dalam keadaan tidak terkunci. Ia memegang gagang pintu, menghela napas untuk menenangkan diri. Ia tidak bisa mundur lagi. Mei Lin mendorong pintu kamar, seketika bau anyir melesat keluar, memperingatkannya. Lampunya bahkan lebih remang dari lampu kamar Mei Lin. Meski lantainya berwarna merah, Mei Lin cukup jeli menangkap bekas tetes darah yang menghitam di beberapa bagian, juga di sudut-sudut dinding. ia mengelilingi kamar, menekan-nekan lantai dengan kaki, berharap salah satunya adalah pintu masuk bawah tanah layaknya di film-film.

“Hei.” Kedua lengan Mei Lin disergap. Ia sigap menutup mulutnya, mencegah teriakan meluncur. Ia berbalik dan mendapati Andra tertawa lebar. “Takut, ya?” Andra mengaku ialah yang membuka gembok itu supaya malam ini bisa masuk ke kamar misterius itu. “Kasus yang kuselidiki itu kasus bunuh diri.” Mei Lin kembali bergidik. “Ceritanya panjang. Kasus bunuh diri pertama terjadi pada masa pemerintahan Belanda, seorang noni Belanda yang tidak mau menikahi pria pilihan orang tuanya. Kejadian kedua terjadi sekitar dua puluh tahun lalu, sehingga beredar kabar kasus kedua terjadi karena tamu di dalam kamar itu diganggu oleh hantu si noni Belanda. Kamar itu pun tidak disewakan lagi. Dua tahun lalu, orang ketiga mati di ruangan ini. Ia justru sengaja ingin menyewa kamar ini untuk membuktikan mitos itu salah. Meski sudah dilarang, ia tetap ngotot, bahkan menawari pemilik rumah bayaran berkali-kali lipat. Besok paginya ia gantung diri di kamar ini. Orang itu sahabat karib saya.”

Mei Lin terdiam. Ekspresi ramah Andra hilang, berganti kepahitan sekaligus kemarahan. “Saya sangat yakin sahabat saya dibunuh. Ia bukan tipe orang yang akan bunuh diri. Karena itu saya harus mencari bukti. Kalau kamu, ngapain di sini?”

“Eh, itu, sama. Tadi ‘kan penjelasan kamu belum selesai, terus setelah dari toilet saya lihat gemboknya terbuka, lalu, yah, begitulah selanjutnya.” Mei Lin tidak mungkin menjawab jujur. Kini ia tidak bisa meneruskan pencariannya. Andra pasti berencana menghabiskan malam di ruangan ini. “Tapi karena pertanyaanku sudah terjawab, ya sudah. Kamu yakin tidak mau ditemani? Mungkin kalau berdua kita bisa lebih cepat. Kamu bisa dapat sudut pandang lain dariku.”

Tak disangka, Andra menolak dengan halus tawaran Mei Lin, yang justru membuatnya kembali digerogoti rasa penasaran. Tentu saja ia tidak boleh memaksa, tapi Mei Lin jadi semakin ingin tahu apa yang akan dilakukan Andra sepanjang malam di kamar berukuran kecil itu. Mei Lin akhirnya kembali ke kamar dan berusaha tidur.

Usahanya sia-sia, terganggu oleh gemerisik samar di kamar sebelah. Kamar misterius itu. Ranjang Mei Lin ditempatkan dekat dinding, sehingga ia hanya perlu bergeser agar bisa mendengarkan lebih saksama. Tubuh Mei Lin menegang sewaktu terdengar suara mirip orang tercekik. Ia sampai tidak berani bernapas. Suasana hening terasa seperti selamanya. Tidak ada langkah kaki atau bisikan. Apa yang terjadi? Siapa yang mengeluarkan suara mengerikan itu?

Mei Lin tidak berani menjawab, tidak mau ketakutannya menjadi nyata. Namun begitulah adanya, ketika ia terbangun oleh jeritan Bu Suminah keesokan harinya. Mei Lin melompat keluar, mendapati Bu Suminah terduduk di lantai, tubuhnya gemetar, tangannya menunjuk-nunjuk kamar misterius itu sementara ia terus menjerit dan memalingkan wajah. Mei Lin menyibak pintu yang sudah setengah terbuka. Ia terkesiap, tubuh jangkung Andra terbujur kaku, kakinya tergantung hanya beberapa sentimeter dari lantai, wajahnya membiru.

Butuh beberapa detik bagi Mei Lin untuk tenang kembali. Ia menuntun Bu Suminah duduk di salah satu sofa, lalu kembali berdiri di depan kamar. Hampir saja ia terkecoh karena syok. Mei Lin mengerti kenapa Andra begitu yakin sahabatnya tidak bunuh diri, seyakin dirinya sekarang kalau Andra tidak gantung diri. Mereka berdua dibunuh. Apa ini peringatan untuk Mei Lin agar berhenti mencari harta Nyai? Apa Andra dibunuh karena hampir berhasil menemukan jalan masuk menuju harta Nyai? Atau petunjuk soal kasus sahabatnya? 

Anehnya, Mei Lin tidak merasa takut, malah tertantang untuk membuktikan keberadaan harta Nyai. Ini berarti ia selangkah lebih dekat menuju kebenaran, karena berhasil membuat takut siapa pun pihak misterius yang juga mencoba menyelidiki. Mei Lin turut sedih karena Andra menjadi korban, tapi ia tidak bisa terpuruk lama. Ia harus segera bertindak. 

“Bu, kita ke ruang makan saja, yuk.” Mei Lin menuntun Bu Suminah ke belakang rumah. Beberapa bungkus pudak tersusun rapi di piring. Satu bungkus telah terbuka, menyisakan sedikit isinya. “Ngapunten, Ibu. Ibu tinggal di sini sendiri?” Bu Suminah mengangguk masih sambil sesegukan. “Maaf, Bu. Tapi saya sepertinya hari ini akan pergi. Saya … saya takut, Bu. Maaf, ya. Tapi saya akan pergi setelah polisi datang.” Bu Suminah meredam tangisnya dengan tangan, mengangguk-angguk seperti mainan rusak. Mei Lin membujuknya makan pudak yang terhidang agar jangan sampai ia jatuh sakit, lalu kembali ke kamar untuk membereskan barang-barangnya sembari menelepon polisi.

Jalan di depan hotel seketika macet karena orang-orang yang lewat ingin tahu kenapa ada polisi berjaga-jaga dan terpasang garis polisi berwarna kuning yang mencolok. Karena Bu Suminah masih menangis dan sulit dimintai keterangan, Mei Lin mengambil alih. Ia menjelaskan sebisa mungkin soal penemuan mayat Andra tapi menyimpan dugaan-dugaannya, toh polisi tidak akan percaya. Ia lalu pamit pada Bu Suminah, memastikan ibu tua itu tidak keberatan ditinggal sendiri di antara polisi-polisi sibuk. Sesaat sebelum meninggalkan rumah, Mei Lin melirik kamar nomor empat yang terkunci. 

Mei Lin menghabiskan waktu di sebuah café semi outdoor tak jauh dari rumah, menunggu hingga malam tiba. Ia sudah membeli obeng dan beberapa alat pencongkel di toko perkakas. Dari café, Mei Lin berjalan kaki ke alun-alun menyegarkan pikiran, sama sekali mengabaikan berbagai aroma jajanan yang menggoda. Ia mengulang kembali rencananya, alasan jika ia sampai terpergok, apa yang akan dilakukannya jika memang benar jalan menuju harta Nyai ada di dalam kamar itu, siapa yang akan ia hubungi selanjutnya. Ia akan menuntaskan segalanya malam ini.

Jalanan sudah sepi, hanya diterangi oleh lampu toko yang redup. Sesekali satu dua motor lewat dengan santai. Pagar rumah tidak dikunci, hanya dirapatkan. Pintu rumah malah tidak ditutup sama sekali. Para polisi sudah pulang. Garis polisi masih ada di sana-sini. Bu Suminah mungkin sudah diantar polisi ke rumah sanak terdekat. Mei Lin bisa bekerja dengan tenang. Ia mengeluarkan obeng, melepaskan baut overpal yang berkarat dan tak berbentuk. Ini lebih mudah daripada ia harus mencongkel gembok. 

Mei Lin menyingkirkan garis polisi, lalu membuka pintu. Sensasinya sama persis ketika ia masuk ke sana kemarin malam. Hanya saja kali ini ia sempat melihat bayangan tubuh Andra tergantung di tengah-tengah ruangan bak boneka kain lusuh. Tidak ada tanda-tanda telah dilakukan olah TKP. Selain sisa-sisa serbuk untuk mengambil sidik jari, kamar itu bersih. Mei Lin menengadah melihat kait besi yang terpasang di langit-langit. Jika Andra tidak digantung, Mei Lin tidak tahu kait itu ada di sana. Kait itu besar dan tebal, hampir sebesar kait-kait yang digunakan untuk mengangkat kontainer. Mei Lin berkeliling lagi seperti malam kemarin, lebih teliti memeriksa bagian sudut. Di pojok yang berseberangan dengan pintu masuk, Mei Lin melihat sesuatu berkilau, mirip potongan cincin. Ia begitu fokus mengamati potongan itu sampai tidak sadar seseorang mengendap-endap di belakangnya, bersiap mengayunkan tongkat kayu dan memecahkan kepalanya yang kecil.Hantaman itu merenggut pandangan Mei Lin. Sekelilingnya kabur, mata dan bagian belakang kepalanya berdenyut hebat. Ia bisa merasakan rambutnya basah dan lengket, darah mengaliri leher. Langkahnya terhuyung-huyung, sebelum ia berbalik dan tersandung kakinya sendiri. Penyerangnya belum ingin berhenti, tongkat kayu masih terangkat tinggi. Ketika ia bergerak mendekati Mei Lin, otaknya yang melemah mengirimkan satu sinyal terakhir. Ah, ternyata lelaki itu ….

lahir di Jakarta, 16 Maret, 31 tahun silam. Senang membaca dan menulis di waktu luang. Telah beberapa kali memenangkan lomba menulis dan menjadi kontributor antologi cerpen. Esai pertamanya berjudul ‘Memutus Rantai Trauma’ diterbitkan di Majalah Utusan. Pernah bergabung dalam Ubud Writers and Reades Festival 2018 dan 2019 sebagai program coordinator dan international program assistant. Terpilih sebagai salah satu peserta Lab Ekosistem Sastra: Creative Writing dalam acara Jakarta International Literary Festival 2019.

Residensi Literatutur mengundang 18 Penulis di Indonesia untuk diundang ke Gresik dalam upaya melakukan pembacaan, penggalian ide, dan menemukan gagasan atau kemungkinan lain yang kemudian dituangkan dalam cerita pendek. Residensi ini diadakan oleh Yayasan Gang Sebelah yang didukung oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Gang Sebelah

Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas