Beranda » Permaisuri Pesisir – Wiwiek Afifah

Permaisuri Pesisir – Wiwiek Afifah

Fadly menenangkan istrinya setelah Mbah Mijan menceritakan hasil ramalan kedua putri kembar mereka. Dari garis tangan dan weton, rupanya Mbah Mijan sudah mampu membaca nasib dan masa depan anak-anak mungil itu. Setelah Mbah Mijan pulang, Fadly mendekap erat tubuh istrinya sambil berkata, 

“Tidak usah berkecil hati dan larut dalam kesedihan, Dinda. Semua akan baik-baik saja.” 

Fadly meyakinkan istrinya bahwa semua harus dijalani dengan ikhlas. Walau sebenarnya hatinya juga risau akan masa depan putri kembarnya. Istrinya, Dewi Sarti tak banyak berkata, sesekali ia menyeka air mata yang tidak bisa dibendung. 

“Aku tak akan tega melihat mereka Mas, hatiku serasa diiris-iris saat mendengar Mbah Mijan membaca garis nasib mereka.”

“Iya, aku pun tak akan sanggup melihat penderitaan yang akan mereka rasakan.” Fadly menjawab sambil memperhatikan putri kembarnya yang sedang tidur pulas di tempat tidur tergantung di taman indah itu. 

Hari berlalu, Fadly dan Dewi Sarti menjalani kehidupan yang bahagia dengan dua putri kembarnya. Sebagai orang yang terpandang dan kaya dengan beberapa usaha yang maju, Fadly diam-diam mendatangi ahli tafsir Jawa di beberapa daerah. Ia berharap bahwa ada tafsir lain dari weton kedua putri dan keluarganya. Sayangnya, semua sama. Hasil ramalan dari weton itu memberi tanda bahwa salah satu dari mereka akan menjadi wanita sukses dan terpandang namun akan ada tragedi dan penderitaan karena asmara. 

Miranda Pinanti dan Ajeng Pinanti tumbuh menjadi gadis cantik. Dua gadis kembar yang menarik dan cerdas yang selalu menjadi buah bibir masyarakat. Gadis dermawan dengan paras menawan. Sempurna dengan cara berbicara yang lembut namun tegas dengan pilihan bahasa yang sangat santun. Miranda Pinanti memiliki bakat dalam berkuda dan membuat aneka makanan dari sumber daya laut sedangkan Ajeng Pinanti memiliki bakat dalam merawat berbagai tanaman. Mereka juga menempuh berbagai pendidikan terbaik. 

Berbeda dengan Ajeng yang masih sendiri, Miranda sudah memiliki pujaan hati. Ia menjalin kasih dengan pemuda tampan. Ia dan kekasihnya merajut hari-hari indah nan sempurna. Miranda benar-benar jatuh cinta dengan lelaki idaman, ideal, rupawan nan menawan itu. Lelaki yang sempurna di mata Miranda itu bernama Maulana Saputra. Miranda mengenalnya sejak dia masih di bangku Sekolah Dasar. Maulana Saputra juga lelaki mapan dari keluarga terpandang. Orang tua mereka bersahabat sejak mereka masih muda. Keduanya berasal dari dua keluarga terpandang yang masih patuh dengan aturan nilai-nilai Jawa termasuk aturan dalam memilih jodoh berdasarkan weton.

“Jeng, apalagi yang kamu tunggu?” suatu hari Fadly dengan hati-hati bermaksud membuka pembicaraan tentang calon menantu. Namun Ajeng tidak memberi jawaban yang diharapkan oleh Fadly. Ia hanya menjawab bahwa jodoh akan datang pada waktunya. Saat hatinya memang benar-benar sudah mantap. 

“Tenang Bopo, semua akan datang pada waktunya. Tidak usah khawatir, tunggu sampai hati ini mantap.” Gadis cantik bermata sipit itu menjawab sambil memeluk Boponya. Jawaban yang entah sudah berapa kali ia sampaikan saat Boponya menagih untuk segera menikah. Namun, seolah tak pernah jemu. Ajeng hanya menjawab dengan jawaban yang sama. 

Ajeng seolah tak memiliki rasa suka dengan laki-laki. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan tanamannya. Sudah sering ia menolak laki-laki yang ingin dekat dengannya. Sejak ia sekolah hingga saat ini sering didekati oleh laki-laki tampan dan dermawan namun sering juga ia menolak dengan berbagai alasan. Rupanya Ajeng belum menemukan tambatan hatinya. 

Berbeda dengan Miranda, sejak di Sekolah Dasar ia sudah dekat dengan kekasihnya. Bahkan hingga lulus dari Perguruan Tinggi mereka juga masih bersama dan semakin terlihat sangat dekat. Setiap ada kesempatan bertemu mereka sering berkuda setelah itu memasak bersama di rumah Miranda. Sesekali Putra mengobrol dengan Ajeng di kebun tanaman hias yang posisinya persis di antara rumah Ajeng dan rumah Miranda.

Namun, takdir berkata lain ketika kedua orang tua mereka akhirnya memutuskan untuk menjodohkan Putra dengan Ajeng. Keduanya sepakat dijodohkan karena memiliki weton yang tepat. Walau Miranda dan Ajeng dilahirkan dengan weton yang sama namun perbedaan menit dari keduanya ternyata berpengaruh. Waktu Ajeng lahir dihitung-hitung tepat dengan weton Putra yang lahir di waktu subuh sedangkan Ajeng juga lahir pada waktu yang sama. Weton yang dianggap cocok oleh kedua keluarga membuat pernikahan tersebut menjadi keputusan yang dianggap sangat tepat dan bijaksana. Ajeng memiliki weton yang lebih cocok dengan Putra dari pada Miranda. Namun, semua sadar bahwa itu adalah keputusan yang dilematik dan sangat menyakitkan hati Miranda. 

“Biyung, ini beneran? aku tak salah dengar? ini benar keputusan Biyung, Bopo dan keluarga Putra?” Beberapa kali Miranda bertanya ingin meyakinkan bahwa itu bukan keputusan akhir. 

“Iya, karena weton mereka memang berjodoh. Ramalan yang dibaca oleh Mbah Mijan, memberi tanda bagus.”

“Oh, apakah Ajeng dan Putra sudah tau kabar ini?” tanya Miranda ke Biyungnya. 

Tak ada kata-kata dari wanita setengah baya itu. Ia hanya mengangguk. Sambil berusaha memeluk anaknya. Namun, Miranda seketika menolak dan pergi meninggalkan Biyungnya yang terlihat masih terbawa rasa serba salah. 

Miranda begitu kecewa, dan patah hati. Ia merasa dunia sudah runtuh. Sebenarnya ia menghormati kepercayaan tersebut dan tak ingin menentang orang tua dan leluhurnya, namun patah hati dan kekecewaannya tidak bisa disembunyikan. Miranda sangat kecewa. Ia terluka. Terpukul. Hatinya begitu beku apalagi sadar bahwa Putra tak ada upaya untuk menolak dan melawan perjodohan itu. Dengan dalih masa depan dan garis hidup harus menikah dengan Ajeng bukan dengan Miranda. 

“Aku tak sanggup menolaknya, Mir. Jodoh sudah terbaca dari weton kita berdua sehingga aku tak ada keberanian untuk tidak menyetujui pernikahan ini.” Ungkap Putra saat bertemu dengan Miranda. 

“Berarti semua yang selama ini kamu berikan kepadaku, kamu buang begitu saja? Hanya karena weton?” Miranda bertanya setelah itu tertunduk lemas. Ia yakin Putra tak akan pernah menjawab pertanyaannya. 

Miranda terluka. Ia memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah. Dengan dada membara, gemuruh atas keputusan itu. Perasaan Miranda yang campur aduk membuatnya tak bisa berpikir jernih. satu bulan sebelum pernikahan, ia pergi meninggalkan keluarganya dan menghabiskan waktu tanpa tujuan. Ia memilih menjadi gelandangan. Berjalan dan terus berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Ia berpikir lebih baik gila agar bisa terbebas dari semua kekecewaan. 

Sementara, Putra merasa perjodohan itu sudah hal yang wajib dipatuhi. Sayangnya Putra tak pernah mencoba menyembuhkan luka hati Miranda. Dia bahkan tak pernah bertemu dan menenangkan Miranda walau dia tahu Miranda sangat mencintainya. Putra bahkan tak pernah bertemu setelah pertemuan malam itu. Ia hanya bicara dengan sangat singkat perihal perjodohan itu. Padahal sebelumnya mereka sering menghabiskan waktu bersama dan membicarakan tentang masa depan mereka berdua.   

Miranda melakukan perjalanan tanpa arah. Ia sering menyusuri pantai utara dari pagi hingga petang. Tak jarang ia sengaja menceburkan diri berharap untuk mengakhiri hidup.  Kadang ia juga berjalan menuju hutan. Selama masa-masa kelam itu Miranda bahkan tak pernah makan. Ia hanya makan dedaunan yang ia dapatkan. Bahkan ia ingin rasa lapar itu bisa segera merenggut nyawanya. Rambutnya mulai kusut, tak terawat, berkutu bahkan bernanah. Banyak koreng di sekujur tubuhnya. Luka-luka bekas cakaran kuku-kukunya yang  panjang dan hitam sungguh menggambarkan bahwa Miranda benar-benar tenggelam dalam kesedihan yang tak bertepi.

“Pran, ada suara gerak-gerak dari pinggir jurang ini.” Supri petani jagung yang sedang menjaga jagungnya dari tikus-tikus malam mendengar gerakan tubuh Miranda.

“Iya, aku juga mendengarnya. Ayo coba kita lihat.” Sapran berusaha mencari asal suara itu.

Akhirnya mereka menemukan tubuh Miranda yang tak sadarkan diri. Anehnya, selalu saja ada penduduk yang menolong dan merawatnya saat ia ditemukan tak sadarkan diri. Kadang tubuhnya ditemukan kaku di tengah jalan. Kadang terbawa arus Sungai. Yang terakhir, tubuhnya tersangkut kapal nelayan setempat. Miranda selalu selamat dari maut yang sengaja ia rindukan. Saat ia sudah siuman dan mampu berjalan ia segera pergi dari rumah penduduk yang telah menolongnya. Ia segera berjalan pergi tanpa tujuan.

Suatu ketika Miranda singgah di rumah penduduk yang sangat miskin. Saat ia duduk dan meminta minum tiba-tiba ia bertemu dengan seorang wanita bijak yang dikenal sebagai orang yang dihormati di desa itu. Mbah Lasmini namanya. Ia dengan sabar mendengarkan kisah Miranda yang tiba-tiba bercerita tentang kisah asmara dan nestapanya. Mbah Lasmini mendengar dengan penuh kesabaran. Setelah Miranda selesai bercerita, ia memberi nasehat bijak kepada Miranda.

“Takdir sering kali tidak dapat diubah”. Ucap Mbah Lasmini sambil menata rambutnya yang sudah memutih semua. 

“Tetapi, sebagai manusia yang penuh kekurangan, kita memiliki banyak cara untuk menyikapi takdir itu.” Miranda hanya tertunduk saat Mbah Lasmini memberi nasehat. 

“Hadapi dengan kesabaran. Hanya cara itu yang dapat membentuk masa depan yang lebih baik.” Mbah Lasmini meyakinkan Miranda.

“Kebahagiaan sejati tidak hanya berasal dari hubungan romantis dengan pasangan kita, tetapi juga dari kedamaian dalam diri kita sendiri. Kamu seharusnya dapat menjalin hubungan yang lebih kuat dengan orang-orang di sekitarmu.” Ungkap Mbah Lasmini. Miranda mulai mendengar saran Mbah Lasmini. Walau ini tentu bukan saran yang pertama ia dengar. 

“Sudah, jangan pergi lagi tanpa tujuan. Singgahlah di sini. Daerah pesisir ini daerah yang baik buat kamu yang kuat. Pesisir akan memberi kamu sumber kebahagiaan. Hidup berdampingan dengan para nelayan yang penuh dengan kesabaran dan keramahan. Walau terkadang mereka juga keras. Tapi tidak apa, karena itu akan membentuk jiwamu yang kelak akan menjadi sosok kuat tak mudah menyerah”. Mbah Lasmini meyakinkan Miranda sambil pergi menuju pekarangan di samping rumahnya. 

Miranda masih merasakan rasa sakit dalam hatinya, apa yang disarankan oleh Mbah Lasmini belum bisa ia terima. Miranda belum bisa menerima kenyataan dan masih belum memiliki tujuan hidup.  Ia menjalani hidup masih tanpa arah. Rasa kecewa dan cinta yang ternyata sia-sia membuat ia masih menyimpan dendam kepada Putra. Walau terkadang ia juga bisa memahami norma dan kepercayaan dalam keluarganya. Namun, ia masih sangat kecewa kenapa Putra seolah-olah tak pernah memiliki hubungan dengan dirinya. Putra seolah-olah tak pernah menganggap bahwa Miranda dan dia pernah memiliki hubungan romantis. Hal itu yang membuat Miranda begitu terpukul dan kecewa. Padahal dulu Putra sering memberi janji kepada Miranda untuk hidup bersama. Entah itu semua datang dari lubuk hatinya atau hanya Miranda saja yang tak sengaja memaksa Putra untuk terbawa arus perasaannya tanpa ia sadari. 

Saran dari Mbah Lasmini sebenarnya membuat hati Miranda tersentuh yaitu seharusnya ia memperdalam hubungan dengan saudara kembarnya, Ajeng, dan tidak menjauh seperti ini. Cinta keluarga seharusnya memiliki nilai yang paling utama. Namun Miranda masih tak sanggup. Bayang – bayang Putra masih sering singgah dalam pikirannya.

*********

Satu minggu sebelum hari pernikahan, orang tua Miranda dan Ajeng ternyata ditemukan tak bernyawa secara terpisah. Biyungnya ditemukan duduk di ruang bawah tanah setelah menata semua perabotan di ruangan yang sangat nyaman dan semua serba ada dengan berbagai jenis logistik. Sementara itu, Boponya ditemukan tewas di lantai 3 setelah mengecek perkembangan burung-burung walet yang pelihara. Namun rencana pernikahan tetap berjalan sesuai rencana. Ajeng dan Putra melangsungkan pernikahan dengan sakral berdasarkan adat dan ritual Jawa. Mereka ternyata saling mencinta. Dari pancaran matanya tak bisa dielak bahwa keduanya sama-sama jatuh cinta. Setelah acara pernikahan selesai, para tamu undangan pulang dan mereka tinggal berdua di rumah itu. Malam itu hujan sangat lebat dan petir saling bersahutan. Tiba-tiba Putra menghilang begitu saja. Ajeng berusaha mencari ke mana-mana dan bahkan kabar hilangnya Putra terdengar oleh keluarganya. Pencarian maksimal sudah dilakukan namun Putra tak pernah kembali.

*********

Miranda berjalan dengan semangat melihat kotak yang mengapung. Hari ini dia dan kru rombongan akan berangkat menyeberang ke pesisir Gresik sebelah utara. Tanpa memberi aba-aba kepada anak buah, ia segera mengangkat kotak itu dengan jaring yang sebelumnya telah disiapkan untuk memancing ikan sepanjang perjalanan ke utara. Tak hanya terkejut, Miranda benar-benar syok saat membuka kotak itu. Bayi mungil kecil lucu laki-laki itu tiba-tiba tersenyum melihatnya. Sontak ia ingin membuangnya karena kaget. Tiba-tiba ia teringat dengan saudara kembarnya Ajeng yang telah menikah dengan Putra kekasihnya.

Bayangan masa lalu dan kepedihan tiba-tiba menyeruak lagi ke dalam pikirannya. Setelah 10 tahun berlalu dan dia sudah damai dengan kehidupan dan pilihannya menjadi seorang pelaut, tiba-tiba dia diingatkan dengan datangnya bayi kecil ini. Ia membayangkan anak-anak saudara kembarnya tumbuh sehat dan tampan seperti Putra. Mereka hidup bahagia bersama keluarganya. Kenangan itu tiba-tiba muncul kembali. 

Babak baru menjadi permaisuri pesisir mewarnai kehidupan Miranda. Ia merawat bayi yang telah ia temukan. Dia merawat bayi itu dengan penuh kasih sayang. Saat ia harus melaut, ia menitipkan sang bayi dengan pelayannya. Kehadiran si mungil membuat keputusan Miranda semakin kuat untuk tidak menikah. Ia semakin hari semakin yakin bahwa hidupnya harus diberikan untuk membesarkan bayi itu dan memberikan semua tenaga dan pikirannya untuk masyarakat pesisir. Dia yakin bahwa darahnya untuk laut. 

Pertemanan dengan para pekerja di pantai pesisir membuat Miranda juga sadar bahwa dia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Mulai dari ilmu navigasi sampai berbagai cara pengolahan ikan. 

Miranda sudah mampu membangun rumah yang cukup besar. Awalnya rumahnya hanya kecil namun aman dari berbagai gangguan orang jahat. Untuk menghindari berbagai permasalahan dan gangguan dari para perampok, Miranda membuat berbagai jebakan. Keahliannya dalam menjebak para perampok membuat Miranda semakin terkenal di kalangan Masyarakat pesisir. Ia mulai banyak dikenal masyarakat bahkan di luar daerahnya.  

Apalagi saat Miranda mulai mengubah penampilannya menjadi kelaki-lakian. Ia mencukur rambutnya menjadi botak dan hanya mengenakan topi tiga puncak. Sehari-hari Miranda mengenakan pakaian kasual dengan rompi, kaus, celana panjang, dan sepatu bot. Sayangnya, kecantikan Miranda tetap tak bisa disembunyikan sehingga banyak laki-laki yang sering menggodanya dan ingin berbuat tidak senonoh dengannya. Miranda menghabiskan waktunya untuk berlayar, dia kini benar-benar telah menjadi sosok yang sangat tangguh dan pemberani. Ia tumbuh di tengah masyarakat pesisir yang sangat keras namun memiliki rasa solidaritas yang kuat. 

Walaupun Miranda berasal dari keluarga kaya raya namun ternyata kepedihan dan kekecewaan dengan Putra telah membuat ia terpuruk. Namun dari situlah sebenarnya ia banyak belajar.  Kepedihan dan kekecewaan ternyata banyak mengajarkan bagaimana ia harus menerima takdir. Laut dan samudra yang luas telah menjadi sahabatnya. Dia curahkan semua kepahitan hidup di dalamnya. Ia rapikan semua kenangan dan menyimpannya ke dalam jurang terdalam di samudera. Ia mulai sembuh. Miranda menjadi sosok yang tidak hanya mahir menangkap ikan, tetapi juga pandai berlayar dengan perahunya. Ia dikenal sebagai wanita yang gigih dan tidak pernah takut menghadapi badai laut. Ketangguhannya melebihi banyak laki-laki di pesisir 

Suatu hari, ketika desa mereka dihadapkan pada kesulitan ekonomi, Miranda memutuskan untuk memimpin inisiatif dan mencari cara baru untuk menghasilkan pendapatan bagi mereka. Dengan kepemimpinan yang tegas dan keberaniannya mencari ide-ide baru, Miranda mengajak para wanita di pesisir itu untuk terlibat dalam proyek perikanan yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan. Miranda mendirikan sebuah kelompok perempuan nelayan yang berfokus pada penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan budidaya kerang. 

Ia menyadari bahwa perlunya menjaga keseimbangan ekosistem laut untuk memastikan sumber daya alam tetap berkelanjutan bagi generasi mendatang. Selama perjalanan mengelola proyek tersebut, Miranda menghadapi berbagai rintangan. Mulai dari resistensi tradisional hingga tantangan cuaca yang sulit, tetapi ia tidak pernah menyerah. Dengan tekadnya, Miranda berhasil membuktikan bahwa wanita juga mampu menjadi pemimpin yang kuat dan mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat yang lemah. Ketangguhan dan kepemimpinan Miranda menjadi inspirasi bagi banyak orang di desa pesisir tersebut. Ia tidak hanya menciptakan peluang ekonomi baru tetapi juga mengajarkan pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan untuk kehidupan masa depan anak cucu mereka.

*********************************

Meski perjalanan sembuh Miranda tidak cepat, dengan dukungan dari Mbah Lasmini, dan teman-temannya, akhirnya dia menemukan kebahagiaan sejati dalam kehidupannya yang baru. Miranda belajar untuk melupakan romantika yang pernah terjalin dengan Putra. Dia berpikir cinta bisa menjadi bagian yang penting dalam kehidupan, namun kebahagiaan sejati dapat ia temukan melalui berbagai bentuk hubungan dan penerimaan terhadap takdir yang tidak selalu sesuai dengan harapan. Ia menjahit hubungan yang baik dengan alam, laut, dan semua teman-temannya. Miranda telah berjanji bahwa ia tak akan pernah lagi menjalin kisah cinta romantis dengan siapapun hingga akhir hayatnya. 

Sinar purnama menerobos ke dalam rumah Miranda dan membuat hati Miranda bergetar. Teringat lagi kisah kasih dengan Putra. Saat itu mereka sering duduk bersama sambill saling bercerita. Sinar itu seolah-olah memberi isyarat bahwa Miranda harus pergi ke arah timur. Ia  berpikir untuk pulang dan mulai berdamai dengan semua masa lalunya. Ia memutuskan untuk pulang dan melihat orang tuanya, Ajeng dan Putra. Setelah beberapa hari melakukan perjalanan akhirnya ia sampai ke rumah. Ia melihat bahwa tak ada yang berubah dengan rumah kembar itu. Ada dua bangunan rumah yang persis sama dan yang dicat warna merah. Rumah itu sengaja dibangun oleh orang tuanya, Bopo dan Biyung sebagai tanda kasih mereka untuk dia dan saudaranya.  

Setelah sampai di rumah, Miranda bertemu dengan Ajeng. Mereka berdua bertemu. Ajeng sangat terkejut saat bertemu dengan Miranda. Setelah beberapa saat akhirnya Ajeng bercerita tentang semua kisah yang terjadi dalam keluarganya. Miranda sangat terkejut dan hampir tidak percaya dengan cerita Ajeng. Setelah beberapa saat akhirnya Miranda percaya bahwa ternyata orang-orang yang dia sayangi telah pergi. 

Wiwiek Afifah merupakan putri kedua dari pasangan Bapak Santo Achmadi dan Ibu Rumiasih. Ia dilahirkan pada tanggal 5 Maret 1981 di Tuban, Jawa Timur. Penulis telah mengukir pengalamannya dalam dunia pengajaran khususnya bahasa Inggris sejak SMA (1997-1999). Ia mulai membagikan ilmu bahasa Inggris kepada teman-temannya setiap hari Jum’at di bawah koordinator English Foreign Language Department of Al-hasyimiyah English Program of Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur.

Gang Sebelah

Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas