Bagi sebuah kota, sudah sepatutnya seni — atau berkesenian — dianggap sebagai hak warga negara yang harus dipenuhi. Pemerintah sebagai pemegang otoritas bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas, ruang, dan kemudahan akses bagi warga kota yang ingin berkesenian atau menikmati kesenian. Penyediaan ruang pamer, gedung pertunjukan, festival seni, atau museum adalah domain yang seharusnya mendapat dukungan negara. Ruang-ruang seni ini semakin mendesak ketika diposisikan juga sebagai ruang pendidikan informal sekaligus ruang publik. Tempat pertukaran pengetahuan dan eksperimentasi artistik dimungkinkan di luar tembok akademi.
Namun, hingga saat ini kiranya masih sangat sedikit pemerintah daerah yang memberikan perhatian khusus dan membangun infrastruktur seni yang mudah diakses publik. Pada akhirnya masyarakat harus membangun ruang-ruang seni seperti sanggar, pasar kreatif, perpustakaan, museum pribadi, studio seni, atau ruang pamer secara swadaya. Gejala ini menandai absennya negara terhadap pengembangan kesenian di daerah.
Setelah Reformasi ‘98, perkembangan seni di Indonesia salah satunya ditandai oleh munculnya berbagai ruang alternatif yang diinisiasi oleh seniman (artist run space). Pertumbuhan ini terjadi seiring dengan suasana kebebasan yang dirasakan oleh kalangan seniman pada masa itu. Karena sebelumnya semasa rezim Orde Baru, pemerintah memberlakukan kontrol ketat terhadap kelompok dan ekspresi seni. Dibentuknya Taman Budaya dan Dewan Kesenian di berbagai daerah di Indonesia adalah sebentuk pengawasan totaliter yang dilakukan pemerintah pada masa itu.
Selama lima belas tahun terakhir perkembangan ruang seni yang diusahakan swadaya oleh warga semakin marak. Salah satunya didorong oleh perkembangan kelompok-kelompok seni yang dimotori oleh anak-anak muda, sebagian menyebutnya sebagai kolektif seni. Mereka bermunculan tidak hanya berada di perkotaan, tetapi juga menyebar di wilayah perdesaan. Tidak hanya terpusat di Pulau Jawa, tetapi juga di wilayah lain Indonesia. Desentralisasi geografis ini memberi implikasi pengembangan estetika dalam konteks yang lebih beragam.
Ruang seni alternatif seperti Galeri Loteng Kemasan dan Sualoka yang diinisiasi oleh anak-anak muda adalah contoh bagaimana warga secara swadaya membentuk ruang ekspresi sendiri tanpa bantuan negara. Sejak lama, karena negara membiarkan seniman mencari jalan sendiri, mereka pun mengembangkan berbagai siasat untuk mandiri. Para seniman ini bisa terus berkarya tanpa harus menunggu infrastruktur dan ekosistem berkesenian yang mapan. Di Gresik sendiri, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir bermunculan ruang pamer alternatif, kelompok seni, dan berbagai inisiatif budaya yang dikerjakan swadaya oleh pada seniman lokal.
Dapat kita bayangkan, pertumbuhan ini dalam jangka menengah sangat mungkin memicu kemunculan pelaku seni lain yang kelak memperkaya ekosistem di Gresik, mulai dari manajer seni, kurator, kritikus, seniman, atau bahkan lapisan baru penikmat kesenian. Pada skala yang lebih besar, bertumbuhnya ruang ekspresi dan apresiasi semacam ini di masa mendatang bisa memberikan dampak pada terbentuknya struktur masyarakat sipil berdaya. Sebuah masyarakat yang terbiasa mengapresiasi seni sewajarnya dapat memandang suatu pokok dari sudut pandang lebih luas serta memiliki kelenturan dalam menerima perbedaan. Sebagaimana karakter karya seni yang terbuka atas beragam penafsiran.
Tentu kita sangat bisa mempertanyakan, apakah betul keberadaan ruang seni di masyarakat akan memiliki dampak linier sebagaimana dijabarkan sebelumnya? Di negara-negara Eropa dan Amerika, meski masyarakatnya terbiasa mengapresiasi pameran dan pagelaran seni, meski pemerintah membangun berbagai fasilitas kesenian, toh akhirnya terjebak pula pada waham supremasi sempit kulit putih yang selama satu dekade terakhir semakin menguat keberadaannya. Jadi apa betul ruang seni dapat berfungsi sebagai basis penguatan masyarat sipil yang dibayangkan?
Kita perlu menempatkan ruang seni hanya sebagai salah satu aspek dalam mewujudkan struktur masyarakat sipil yang kokoh. Ruang seni bukanlah sejenis panacea atau one pill to cure all, sehingga perlu bersanding pula dengan pendidikan kritis yang kokoh, dengan pengembangan literasi yang kokoh, atau misalnya juga dengan jurnalisme yang kokoh. Semua untuk mewujudkan demokrasi yang kuat, ekonomi berkeadilan dan politik meritokrasi di tengah masyarakat.
Pemosisian seni — atau berkesenian — secara ideologis dapat dimulai dari lingkup kecil. Sebagaimana Galeri Loteng Kemasan dan Sualoka yang berada di tengah kampung dan bermimpi untuk mengarahkan kerja-kerja kebudayaan mereka kepada warga Kampung Kemasan. Dalam hal ini warga tidak hanya sekadar menjadi latar narasi, melainkan menjadi relasi utama dan orientasi estetik di mana kerja-kerja kebudayaan masa depan diarahkan.
Gang Sebelah
Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.