Sore itu, Dira kembali mendengar cerita dari sekumpulan burung Tengkek Buto. Kali ini ada yang menggelitik hatinya, karena yang diceritakan oleh burung ini adalah orang dekat : Ibu kandungnya. Burung ini bercerita panjang lebar tentang hutang ibunya yang bertebaran dimana mana. Hampir setiap tetangga pernah didatangi untuk berhutang. Dira tidak mampu membendung apa yang dia dengar, untuk tidak keluar dari mulutnya. Cerita itu mengalir deras, tersebar di lingkungan sekitarnya. Cerita yang membuat sakit hati ibunya, hingga jatuh sakit tubuh dan jiwa.
“Dira, bisakah kau berhenti menceritakan aib-aib ibu kepada orang orang?”
“Maaf ibu, aku tak bisa menghentikanya. Kata kata itu terus saja keluar dari mulutku tanpa bisa kukontrol.”
“Bagaimana bisa seperti itu? Apa karena kebiasaanmu membicarakan aib orang membuat mulutmu tak punya kendali lagi?”
“Mungkin.”
“Berapa banyak orang yang kau buat susah dengan mengumbar aib-aib mereka? Berhentilah”
“Tidak bisa, Ibu. Setiapkali burung burung itu memberitakan sesuatu, otomatis cerita itu keluar dengan sendirinya dari mulutku.”
“Oh, Dira. Ini pasti kutukan. Kini kau mengumbar aibku. Aib ibumu sendiri..”
Cerita Dira tentang aib-aib ibunya terus berlangsung. Semakin seru ceritanya, sampai tak kuat lagi ibunya mendengar cerita yang beterbangan ke seluruh pelosok desa. Ibu Dira terkena serangan jantung, dan meninggal dunia.
*
Di bawah pohon beringin besar dekat pasar itu, Dira duduk di atas batu pipih yang hanya cukup menampung tubuh tambunnya. Kulitnya legam berkilat ditimpa sinar matahari. Dira memakai daster yang warnanya sudah memudar dan ditumpuk sarung tak kalah dekil. Kakinya telanjang tanpa alas.
Raut wajahnya riang. Dira menyapa setiap orang yang lalu lalang berbelanja. Dari jauh tubuh Dira tidak terlihat keanehannya, namun jika didekati akan nampak kejanggalan-kejanggalan. Mulutnya sangat lebar. Di atas kepala, rambutnya bercampur dengan tumpukkan daun daun kering. Begitu juga telinganya memanjang ke atas mirip telinga kelinci. Selalu bergerak gerak, seperti sebuah antena. memantau suara-suara. Suara yang berasal dari tumpukan ranting pohon di kepalanya. Suara cericit kawanan burung. Sarang burung Tengkek Buto dan keluarga besarnya. Yaitu, sejenis burung murai yang paling gandes, namun penampilannya tidak seperti burung cantik. Tengkek Buto lebih mirip burung gagak berwarna gelap, hanya paruh dan kakinya tidak berwarna hitam. Paruh dan kakinya berwarna merah.
Entah sejak kapan burung itu menjadikan kepala Dira sebagai sarangnya. Mungkin karena Dira suka berlama-lama duduk di bawah pohon beringin besar itu, hingga burung itu tak mampu membedakan mana daun dan mana rambut Dira. Mungkin juga karena Dira jarang mandi hingga banyak serangga di rambutnya yang menjadi kesukaan burung tengkek buto.
Sepertinya Dira pun tak keberatan rambutnya dijadikan sarang burung. Bahkan dengan suka cita dia menyambutnya. Dira selalu terlihat bercakap cakap dengan bahasa yang aneh dengan burung Tengkek Buto. Intonasi suaranya berirama cepat dan durasinya panjang.
Dira selalu tahu kabar terkini penduduk di desanya. Burung Tengkek Butolah yang membawa berita itu dari gosip sampai kejadian nyata. Bagi Dira semua berita itu menarik dan penting, apalagi jika itu merupakan aib seseorang. Maka semakin antusiaslah dia mendengarkannya. Kemudian cerita-cerita itu akan mengucur deras dari mulutnya yang lebar, seperti kran air mengalir ke rumah-rumah dekat pasar. Di jalan-jalan, bersama pembawa gerobak sayur, penjual es, gorengan, roti bantol dan tak luput barisan ibu ibu arisan.
Begitu mulai pagi sampai malam, terus bercerita. Burung burung itulah yang menyuplai bahan ceritanya. Sampai burung itu beranak Pinak di atas kepala Dira.
*
Ketika Dira akan memandikan jenazah ibunya, betapa terkejutnya Dira, mendapati burung-burung yang hinggap di kepalanya itu mematuki mayat ibunya dan membawa serpihan tubuh ibunya ke dalam sangkar di atas kepalanya. Bau busuk menyengat hidung, mengalir ke dalam mulutnya dan keluarlah bau busuk dari itu mulutnya. Dira terus menyerocos tentang aib-aib ibunya ditambah bau busuk dari mulutnya.
Tiba tiba di depannya bergelimpangan tubuh orang-orang yang pernah diceritakan, satu persatu menjadi mayat dan sekumpulan burung itu mematuki mayat mayat itu dan membawanya ke sangkar burung di atas kepalanya.
Dira tak kuasa berbuat apa apa. Wajah kaku dan mulutnya terbuka. Bangkai dari sangkar burung itu bertambah banyak dan berjatuhan ke dalam mulutnya yang menganga lebar. Dia memakan bangkai dari mayat orang-orang yang selalu diceritakannya.
Dira tak mampu berkutik. Matanya melotot menyaksikan semakin banyak mayat di depannya. Mulutnya tersumpal mayat yang berbau busuk itu. Tubuh Dira menggigil, perutnya dipenuhi bangkai, dan akhirnya tubuh Dira membiru.