Beranda » Catatan Kuratorial: Sanubari Photography Exhibition

Catatan Kuratorial: Sanubari Photography Exhibition

Mallarme said that everything in the world exists in order to end in a book. Today everything exists to end in a photograph.  – Susan Sontag, On Photography (1978)

Pernyataan Susan Sontag yang ia tulis pada bukunya bertahun-tahun sebelum digital photography masif seperti saat ini, ternyata benar adanya. Dengan kemajuan teknologi yang ada, kita bisa dengan mudahnya sewaktu-waktu mendokumentasikan apapun secara digital baik melalui ponsel, tablet, maupun kamera digital. Hal ini selaras dengan yang pernah disampaikan oleh Stephen Shore pada sesi wawancara Aperture #185, April 2007 oleh Luc Sante. Sante menanyakan tanggapan Shore tentang kemungkinan Film Photography menjadi sesuatu yang minor karena pesatnya perkembangan teknologi digital.

Realita yang kini terjadi memang lebih kurang persis seperti yang dikatakan oleh Shore, bahwa banyak bertebaran di mana-mana foto-foto yang cuma sekadar sampah. Shore memakai analogi koin dengan dua sisi pada hal tersebut. Di satu sisi digital photography dapat membebaskan daya kreasi seseorang, sementara di sisi lain hal itu malah dapat menuju pada kengawuran. Namun seperti yang pernah dituliskan oleh Roland Barthes, A photograph is always invisible, it is not it that we see. Bahwa selalu ada sesuatu selain apa yang tampak pada foto yang kita lihat.

Berangkat dari berbagai pengertian dan kesadaran yang saya dapatkan melalui pemikiran tokoh-tokoh tersebut, saya mengawali penerjemahan dan pembacaan makna karya-karya fotografi dari teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) G-Pret Universitas Muhammadiyah Gresik. 16 pengkarya fotografi ini adalah beberapa anggota baru dari G-Pret yang ingin mengimplementasikan hasil diklat yang telah mereka dapatkan sebelumnya, sekaligus menampilkan karyanya ke dalam sebuah pameran fotografi. Misi yang awalnya cukup sederhana, yaitu para pengkarya dapat dengan fasih mengoperasikan gear/kamera digital, berbuah menjadi karya-karya variatif yang layak diapresiasi.

Perlu digarisbawahi, bahwa walaupun para pengkarya merupakan pemula dalam hal fotografi, saya tetap melakukan pembacaan karya-karya mereka secara adil dengan menggunakan berbagai instrumen dan elemen-elemen yang lazim digunakan dalam proses kurasi karya fotografi. Foto-foto yang terpilih telah melalui proses kurasi yang cukup ketat dan dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk beberapa diantaranya adalah komposisi, estetika dan kesesuaian antara tema dengan hasil karya visual yang disajikan. Pemilihan foto utama, pendukung, serta jumlah foto yang terpilih dari masing-masing pengkarya juga merupakan pertimbangan dari kesesuain tema, narasi serta representasi fisik bentuk-bentuk penyajian di ruang pameran yang mendukung penerjemahan karya tersebut sehingga tersampaikan maknanya kepada para pengunjung pameran.

Tema yang dipilih dan disepakati oleh seluruh pengkarya pada pameran kali ini adalah SANUBARI. Tentang pemilihan tema tersebut, ada beberapa hal yang menjadi catatan. Selain karena tema tersebut terlalu luas cakupan maknanya, tema tersebut kurang tepat digunakan dalam konteks pameran bersama yang notabene masing-masing pengkarya adalah pemula dalam hal fotografi dan juga memiliki latar belakang yang berbeda. Secara sekilas mungkin tema tersebut terlihat mudah, tapi pada kenyataannya banyak dari pengkarya kesulitan mewujudkan apa yang ada di benak mereka menjadi sebuah karya yang bercerita. Tema tersebut akhirnya menjadi bias dan secara tidak langsung memengaruhi beberapa hasil karya mereka yang tidak sesuai dengan tema atau narasi yang dimaksudkan.

Dari berbagai jenis dan genre karya yang mereka hasilkan, saya mengklasifikasikannya menjadi tiga kategori yaitu foto tentang orang/manusia, benda-benda dan yang lain (abstrak). Dari ketiga kategori tersebut, yang paling banyak adalah karya yang memiliki elemen/unsur orang/manusia di dalamnya. Seperti yang terlihat pada karya-karya Firda Maulidiya S, Qomaruzzaman, Muhammad Nofal Jannafis, Lina Nur Sa’idah, Nadya Annisa S, Ghazlina Himaya, Novi Arliesa R, Syifa Siti Nursiyam, Lailatul Maghfiroh, M Alvian Yoga Pratama, Wahyu Novitasari K.P, dan Wasis Putro J.

Pada karya Firda, Jannafis, Lina, Novi, Alvian dan Vita terdapat kesamaan mood/vibes yaitu tragedi yang banyak direpresentasikan melalui perasaan sedih, perpisahan, kesepian, kesendirian, depresi, dan lain-lain. Secara teknis, mereka cukup mampu mengoperasikan kamera dan menerapkan exposure triangle dan rule-of-thirds secara tepat. Namun yang masih kurang diperhatikan adalah highlighting detail-detail objek pada saat framing atau kurangnya Photographic Seeing, melihat dengan sudut pandang fotografis. Firda bermain-main dengan siluet untuk menunjukkan perasaan depresif. Jannafis mengeksplor elemen-elemen alam dan manusia untuk dipadukan dengan perasaan sedih dan kesendirian. Lina fokus pada simbol perpisahan melalui sepasang siluet tangan yang saling terpisahkan. Novi memadukan cahaya matahari dengan siluet tokohnya yang sedang menghayati rasa kesepiannya. Kemudian Alvian mencoba mengingat dan merekonstruksi ulang perasaan menunda-nunda yang dulu ia rasakan. Dan Vita menggali perasaan penyesalan lewat ekspresi objeknya yang perasaannya terpicu setelah membaca buku berjudul Jalan Pulang. Secara keseluruhan, pengkarya cukup dapat menguasai teknis dan cukup dapat memvisualkan apa yang ingin disampaikan.

Kemudian pada karya Qomaruzzaman dan Syifa memiliki kesamaan mood/vibes yang menyiratkan perasaan hati terhadap sang pencipta. Selain secara komposisi terbilang cukup aman, unsur-unsur religiusitas yang terdapat pada foto yang diambil cukup dapat merepresentasikan apa yang ada di benak mereka dengan kesesuaian tema yang diusung.

Lalu untuk karya Nadya dan Himaya memiliki kesamaan pada status sosial dari lingkungan/objek yang diambil, namun memiliki angle (sudut pandang cerita) yang berbeda. Nadya menitikberatkan pada rasa simpati terhadap orang-orang yang harus bekerja keras mencari nafkah dengan pekerjaan yang cenderung dinilai sebagai pekerjaan yang memalukan/tidak layak. Sementara itu Himaya lebih fokus kepada rasa kasih sayang oleh seorang manusia yang walaupun memiliki latar belakang sosial yang serba kekurangan masih peduli terhadap sesama makhluk hidup. Secara estetis, untuk soal tone color dan framing, foto-foto Nadya masih lebih baik daripada foto-foto Himaya. Namun untuk penyampaian narasi visual, karya mereka sudah cukup sesuai dengan tema. 

Lalu yang cukup berbeda dari karya-karya yang memiliki elemen manusia di dalamnya adalah karya Wasis dan Lailatul. Wasis fokus pada potret sebuah keluarga yang mengunjungi anaknya yang berada di sebuah pondok pesantren. Dengan segala ketidak-estetisan lingkungan pada saat pengambilan foto diambil, foto-foto yang dihasilkan masih mampu menghadirkan rasa ketertarikan yang cukup membuat orang mempertanyakan cerita apa yang ada dibalik rangkaian narasi visual tersebut. Situasi yang ada pada saat itu bisa dikatakan tidak kondusif untuk menghasilkan sebuah foto yang estetik, namun Wasis tetap bisa menghadirkan foto-foto candid dengan muatan emosi yang cukup tepat dengan narasi cerita dan kesesuaian tema. Sementara Lail ingin menunjukkan ingatan masa lalunya yang ceria melalui potret jajanan lokal khas gresik yaitu pudak dimana sewaktu kecil ia sering memakannya. Representasi visual yang ia coba sampaikan adalah dengan memotret pudak memakai metode foto produk dan ditambah dengan penguatan imaji anak kecil yang baru saja membeli pudak dan berjalan pulang. Secara teknis sudah cukup baik, jajanan tradisional tersebut jadi terlihat makin menarik saat ditata sedemikian rupa. Dan anak kecil yang membawa pudak juga cukup mengingatkan kita pada ingatan masa lalu saat membeli pudak.

Foto-foto selanjutnya adalah yang memiliki elemen benda-benda seperti yang tampak pada karya-karya Danang R, Farhan Rizqullah Bagaskara, dan Herlando Prayitno. Karya mereka ini tidak memiliki kesamaan baik dalam hal mood/vibes maupun dalam pemilihan angle (sudut pandang cerita). Ketiga karya tersebut cukup membuat saya bingung dalam proses kurasi, namun dengan berpegang pada narasi yang disampaikan para pengkarya, saya mencoba sebaik mungkin mengurasi foto-foto, baik dari segi teknis maupun estetika, yang sesuai dengan tema besar yang diusung. Foto Danang mencoba menunjukkan eksotika hewan melalui keindahan burung Macaw. Kemudian Farhan memilih narasi yang mengangkat tentang ekspektasi pada sebuah patung Gajah Mungkur yang ternyata banyak yang merasakan kekecewaan atas hasil pembangunannya. Lalu Herlando mencoba mengafiliasikan perasaan-perasaan yang pernah dirasakannya selama ini lewat warna-warna dan simbol-simbol pada kartu permainan Uno. Untuk teknis pengoperasian kamera, mereka sudah cukup baik. Mungkin yang peru dieksplor lebih jauh lagi adalah bagaimana melihat sebuah objek dari sudut pandang kamera, termasuk komposisi framing.

Kategori karya yang terakhir adalah others/yang lain. Dalam hal ini hanya ada satu pengkarya, Danang Haedar G, yang karyanya menyajikan tentang sesuatu yang lain yaitu, ruang. Pengkarya berupaya menerjemahkan narasi yang ia bangun tentang perasaan hampa/sepi/kosong. Maka itu karya-karya yang ditampilkan berupa lorong yang kosong atau sudut-sudut sebuah ruang yang biasanya ramai, ditampilkan kosong. Secara teknis, komposisi pencahayaannya cukup dapat merepresentasikan perasaan yang dimaksud. Namun seharusnya pengkarya dapat mengeksplor lebih jauh tentang pemilihan ruang-ruang kosong yang lain yang dapat membantu/menambah kesan kosong dibandingkan hanya menampilkan potret sebuah lorong dan tangga yang gelap.

Kemudian perlu saya tegaskan kembali bahwa pemilihan foto beserta jumlahnya bukan berarti foto yang lebih banyak dipajang adalah yang paling bagus maupun sebaliknya. Foto-foto yang terpilih untuk disajikan di ruang pameran adalah berdasarkan kesesuaian antara hasil karya dengan tema dan narasi yang ingin mereka sampaikan. Adapun perlakuan-perlakuan instalatif pada beberapa karya merupakan pengantar untuk menjembatani makna antara karya dengan pengunjung. Secara keseluruhan para pengkarya pada pameran ini masih dalam tahap pengimplementasian teknis, belum sampai pada tahap capaian rasa dan interpretasi makna yang lebih dalam.

Sebelum saya menutup catatan kuratorial ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada G-pret atas kesempatan yang diberikan kepada saya sebagai kurator. Saya juga ingin mengucapkan selamat kepada para pengkarya yang tulus dalam memproduksi karya-karyanya dan juga teman-teman panitia yang dengan segenap usaha dan rasa kebersamaannya dapat mewujudkan pameran fotografi Sanubari ini. Selama beberapa tahun saya perhatikan memang sangat jarang ada pameran fotografi di Gresik. Inisiatif G-pret untuk membuat pameran fotografi ini cukup layak untuk diapresiasi karena menurut saya, Gresik memang terbilang cukup kering dalam hal acara kesenian, terutama yang diinisiasi oleh anak-anak muda. Pameran fotografi ini saya rasa dapat memberikan warna baru pada khasanah fotografi di Gresik baik dari segi karya maupun pengemasan pameran. Kedepannya saya berharap agar para pengkarya khususnya serta segenap teman-teman G-pret terus berkarya dan mengadakan pameran-pameran fotografi yang kreatif dan inovatif. Semoga dengan adanya pameran ini beserta seluruh konsep dan proses yang menyertainya, dapat menyumbang pengetahuan baru baik bagi para pegiat dan pelaku fotografi di Gresik maupun kepada para pengunjung umum dan penikmat seni secara luas.

Sebagai penutup, overall, Seperti yang sempat saya sebutkan diatas, bahwa secara teknis para pengkarya cukup dapat mengimplementasikan apa yang dipelajarinya dan menghasilkan foto sesuai dengan yang dimaksudkan. Namun, kurangnya Photographic Seeing, melihat dengan sudut pandang fotografis, masih menjadi subjek yang harus bisa mereka kuasai agar dapat menghasilkan foto yang lebih dapat bercerita walaupun tanpa ada narasi pendamping dalam bentuk teks atau apapun. Seperti yang pernah dituliskan Susan Sontag di bukunya, On Photography (1978), Photographic seeing meant the ability to find beauty in what everybody sees but ignores on account of being too ordinary. The photographer’s aim became the idealization of everyday life through the way of seeing that only a camera can produce.

Ditulis oleh: Dicky Firmanzah – Kurator

Gang Sebelah

Yayasan Gang Sebelah didirikan pada Tahun 2017, sebagai bentuk upaya dalam melakukan penelitian, pengarsipan dan pengembangan Kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas